Kampus Masih Mendalami Identifikasi dan Klasifikasi Peran dalam Pemberian Sanksi Para Pelaku
Ilustrasi Kekerasan Fisik
Sumber: Freepik
Acara wisuda Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa timur (UPNVJT) selalu diramaikan oleh arak-arakan yang diselenggarakan tiap program studi (prodi) untuk memeriahkan acara kelulusan mahasiswa yang telah diwisuda. Namun, acara arak-arakan yang seharusnya menjadi media apresiasi dan penuh keseruan berubah menjadi peristiwa yang mencekam. Kerusuhan dialami beberapa mahasiswa Prodi Teknologi Pangan (Tepa) yang dipicu oleh oknum Teknik Sipil saat arak-arakan pada (28/10) hingga menyebabkan korban luka.
Keadaan yang ricuh pada saat arak-arakan tak terelakkan dan menimbulkan korban, salah satunya adalah Muchammad Vishal (FT/18). Ia menuturkan saat kejadian terjadinya baku hantam, ia tengah berusaha melerai, tetapi terkena pukulan di mata sebelah kanan. “Pas waktu terjadi pemukulan itu kan bengkak. Jadi, kayak lebam sampai merah kehitaman gitu, tapi pas waktu diperiksa ulang, tidak ada luka dalam yang menyebabkan keretakan yang terjadi di pelipis gitu, sih. Jadi, luka lebam aja,” tutur Vishal pada (18/11). Ia menuturkan bahwa selain luka lebam akibat pukulan, ada rasa trauma yang ia alami setelah kejadian kericuhan. “Pastinya kan setelah kejadian itu kan, ini psikisnya saya juga keserang. Jadi, lebih ke trauma aja sih dari kejadian itu,” jelas Vishal.
Handy Wiranata (FT/21) selaku Ketua Himpunan Mahasiswa Tepa (Himatepa) menuturkan bahwa kericuhan tersebut bermula saat massa dari Tepa berada di depan Gedung Kuliah Bersama Fakultas Teknik & Sains dan ketika massa Teknik Sipil lewat, terdapat oknum mahasiswa Teknik Sipil yang menunjuk-nunjuk ke arah massa dari Tepa. “Kejadian ini bermula ada provokator dari Teknik Sipil, yaitu mahasiswa berbaju hijau menunjuk-nunjuk ke massa dari Tepa. Setelah kejadian itu, akhirnya massa berkumpul dan terjadi kericuhan,” jelas Handy (15/11). Kejadian kericuhan yang masih di area kampus ini kemudian ditangani melalui mediasi dengan Wakil Dekan (Wadek) 3 Fakultas Teknik (FT) pada hari yang sama, yakni (28/10).
Handy menuturkan bahwa Ketua Hima Teknik Sipil juga ikut dalam mediasi dan kedua pihak sepakat untuk damai. “Nah, di situ kami sudah bersalaman secara langsung di depan Wadek 3. Jadi, ibaratnya di situ kami sudah clear-clear-an dan ibaratnya sudah saling memaafkanlah ibaratnya. Sudah tidak ada intervensi lanjutan ataupun sudah tidak ada bahasan lanjutan,” ujarnya. Namun, massa Tepa masih diintimidasi oleh oknum mahasiswa Teknik Sipil di depan Sekretariat Himatepa hingga terjadi pengeroyokan kepada Handy sekitar pukul 19.00 Waktu Indonesia Barat. Peristiwa pengeroyokan tersebut menyebabkan luka pada bagian lehernya.
Ia mengungkapkan bahwa kasus pengeroyokan ini telah dilaporkan kepada Kepolisian Sektor (Polsek) Gunung Anyar. “Untuk korbannya yang kami laporkan ke polisi itu ada dua, ya saya sendiri selaku korban pengeroyokan di insiden ketiga, sama satu lagi yang masuk ke visum, ada kakak tingkat kami yang sampai mukanya lebam,” tutur Handy. Pascakejadian, beberapa mediasi telah dilakukan. Mediasi pada (4/11) menghasilkan keputusan pembentukan tim investigasi fakultas untuk mendalami kasus ini. “Di mana ada dari Koorprodi (Koordinator Prodi) masing-masing program studi yang bersangkutan dari Tepa sama Sipil, juga ada beberapa dosen dari Tepa sama Sipil, yang diketuai oleh Dekan langsung, Dekan FT, sama sekretarisnya itu Wadek 1 FT,” jelas Handy.
Setelah melalui beberapa mediasi dan kasus telah sampai ke rektorat, nyatanya masih belum ada keputusan atas kasus ini, walaupun telah terdapat daftar nama pelaku. “Tim investigasi ini sudah minta data dari kami, nama-nama pelaku juga sudah disetorkan, dan saya juga mendengar sendiri dari Birokrat Wadek 3 ‘Kami selaku bidang kemahasiswaan itu sudah mengantongi oknum-oknum yang dipastikan terlibat dalam kejadian itu’, tapi belum ada keputusan sama sekali dari pihak birokrat kampus,” ungkap Handy. Proses penyelesaian kasus ini berlanjut hingga berlangsungnya pertemuan dengan Wakil Rektor (Warek) 3 pada (28/11) untuk mengonfirmasi bahwa pelaku dijatuhi keputusan sanksi akademis.
Bentuk keresahan akan lambatnya penyelesaian diungkapkan serentak pada (28/11) melalui unggahan media sosial mahasiswa Tepa dengan tagar 30 hari tanpa keadilan. “Lagi-lagi hingga hari ini (1/12) masih belum ada kejelasan terkait keputusan (sanksi akademis) tersebut kapan dijatuhkan,” imbuhnya. Handy menuturkan sanksi yang pantas untuk pelaku adalah Drop Out (DO). “Bisa disimpulkan ini kan kesalahan yang sangat berat atau tindakan yang kriminal yang sangat berat sehingga ya menurut kami yang paling pantas adalah DO,” jelas Handy. Selain sanksi akademis, ia juga menuntut adanya ganti rugi atas kerusakan barang-barang dan rasa trauma. “Jadi, hal itu pun perlu dikaji lebih lanjut untuk ganti ruginya,” tuturnya.
Menanggapi adanya kasus ini, Lukman Arif selaku Warek 3 UPNVJT mengungkapkan bahwa kasus kericuhan ini diproses awal di fakultas hingga terbentuknya tim investigasi untuk mendalami kasus. Proses penyelesaian kasus ini memakan waktu lama karena melibatkan banyak individu. “Proses itu tentu memakan waktu yang cukup lama karena banyak melibatkan banyak orang kemudian harus juga didalami. Jadi, kita tidak bisa kemudian hanya sekadar ya formalitas begitu, tidak melakukan investigasi persoalan ini karena ini menyangkut nasib mereka nanti yang akan kita beri sanksi,” ujar Lukman (17/11). Pemberian sanksi perlu adanya identifikasi dan klasifikasi mengenai peran pelaku dalam kasus kericuhan.
Ia menuturkan bahwa pada (13/11) telah diselenggarakan rapat antara tim investigasi FT dan juga mengundang Dekan dari Fakultas Arsitektur Desain (FAD) yang menemukan dugaan keterlibatan mahasiswa FAD dalam kasus kericuhan. “Semua tim investigasi, baik dari FAD maupun FT sendiri, yaitu menyampaikan laporannya tentang hasil yang dilakukan dan kemudian sudah banyak mengumpulkan banyak mahasiswa yang terlibat sekaligus kemudian di situ juga ada berita acara hasil pemeriksaan masing-masing orang yang terlibat,” ungkap Lukman. Selain mahasiswa FAD dan Teknik Sipil, mahasiswa Teknik Lingkungan juga terlibat dalam kasus ini. Mekanisme penetapan sanksi untuk pelaku akan disesuaikan dengan Peraturan Rektor Nomor 9 Tahun 2020.
Mengenai pemberlakuan sanksi, Lukman menuturkan bahwa hal tersebut belum dapat dipastikan. “Yang jelas itu bisa saja diberlakukan untuk semester ini maupun semester yang akan datang, tetapi keputusan itu akan kita lakukan saat ini. Jadi, sanksi itu nanti berproses juga di semester yang akan datang dan bukan tidak mungkin itu sesuai dengan Peraturan Rektor yang ada, bukan tidak mungkin sanksi itu mereka akan kita DO,” jelasnya. Mengenai keberlanjutan laporan korban ke Polsek Gunung Anyar, Kepala Unit Reserse Kriminal mendatangi UPNVJT pada (30/10) untuk meminta keterangan terkait kasus kericuhan dan pengeroyokan yang masuk dalam pasal 170 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dengan hukuman penjara minimal lima tahun. “Tidak kemudian mereka (pelaku) semuanya akan dihukum lima tahun, sesuai dengan klasifikasi dari yang dia lakukan ya, dia itu perannya apa,” tutur Lukman.
Dampak yang sangat besar dari kejadian ini tentu dialami oleh korban. Kerugian materiel, rasa trauma, hingga hilangnya rasa aman ketika di lingkungan kampus. Handy berharap bahwa pelaku dituntut dan dihukum secara seadil-adilnya melalui sanksi hukum maupun akademis. Selain itu, Vishal berharap agar pihak kampus mengevaluasi dari segi keamanan agar lebih tanggap dan sanksi yang ditetapkan kepada pelaku akan membuat pelaku memiliki efek jera. Atas adanya kasus ini, pihak kampus akan menetapkan edaran larangan melakukan kegiatan yang dapat menimbulkan kerusuhan, seperti arak-arakan. Kemunculan kasus ini perlu menjadi perhatian serius pihak kampus karena atas kejadian ini membuat lingkungan kampus menjadi tidak aman untuk mahasiswa. (ais/hsn/kei)