UU TNI: Mahasiswa Bergerak, Militer Bertindak!

Oleh: End

TNI Telah Bersiap

Sumber: SindoNews

UU TNI kini menjadi persoalan yang siap mengacaukan demokrasi, salah satunya di lingkungan kampus.  Dalam era reformasi yang telah diperjuangkan dengan susah payah, undang-undang (UU) ini justru menghadirkan kembali bayang-bayang intervensi militer yang pernah membatasi kebebasan sipil. Dengan perluasan peran militer dalam urusan sipil, termasuk sektor pendidikan, kebijakan ini tidak hanya mempersempit ruang akademik, tetapi juga berisiko mengunci ruang demokrasi mahasiswa yang selama ini menjadi wadah utama bagi pemikiran kritis dan gerakan sosial.

Salah satu pasal yang menimbulkan kontroversi adalah Pasal 7 yang mengatur tugas pokok TNI dalam dua kategori, yaitu Operasi Militer untuk Perang (OMP) dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Dalam UU sebelumnya, TNI memiliki 14 tugas OMSP, namun dalam revisi terbaru bertambah menjadi 16 tugas. Salah satu tugas TNI yang tertera dalam UU tersebut adalah TNI bertugas dalam mengamankan objek vital nasional yang bersifat strategis.

Objek vital di sini masih bersifat multitafsir. Bisa saja kampus, sebagai institusi pendidikan itu masuk ke dalam kategori ini. Dengan disahkannya UU ini dapat memberikan legitimasi bagi TNI untuk melakukan pengawasan dan intervensi di lingkungan akademik seperti dalam diskusi publik, demonstrasi mahasiswa hingga aktivitas organisasi kampus. Dengan kata lain, kebijakan ini bisa menjadi celah bagi militer untuk membatasi kebebasan akademik dan menekan suara kritis mahasiswa dengan dalih menjaga stabilitas nasional.

Dengan disahkannya UU ini, dominasi militer dalam kehidupan sipil kembali lahir. Bayangkan, kampus yang selama ini menjadi ruang kebebasan akademik dan berekspresi kini terancam semakin sempit akibat masuknya militer ke ranah pendidikan. Bukan tidak mungkin diskusi ilmiah atau kajian-kajian kritis yang menyentuh isu sosial, politik, atau kebijakan negara bisa saja dipandang sebagai sesuatu yang mengganggu stabilitas nasional. Jadi, jika dikatakan mengamankan, di mana letak amannya? Bukankah kebijakan ini justru menjadi ancaman untuk independensi ruang akademik?

Mengambil contoh, demonstrasi mahasiswa, aksi yang dilandaskan oleh semangat dalam menuntut keadilan akan dicap sebagai bentuk pemberontakan yang menimbulkan konflik. Atas wewenangnya dalam kebijakan UU ini, sangat mungkin jika TNI akan mengambil tindakan represif, mulai dari pembubaran paksa hingga kriminalisasi terhadap aktivis mahasiswa yang menyuarakan haknya.  

Jika intervensi ini dibiarkan, mahasiswa tidak lagi memiliki kebebasan untuk menyampaikan gagasan tanpa rasa takut. Najwa Shihab dalam kunjungannya ke Universitas Diponegoro dalam acara Orientasi Diponegoro Muda pada 20 Agustus 2023 lalu mengatakan. “Mahasiswa itu adalah calon pemimpin bangsa, tidak bisa hanya tercetak dari orang cerdas yang terpenjara di dalam kelas.” Lantas, bukankah UU ini justru menjadi penjara bagi suara mahasiswa? Kampus yang seharusnya menjadi ruang bertumbuhnya pemikiran kritis kini terancam kehilangan esensinya sebagai ruang demokrasi. Perlahan, iklim akademik akan bergeser dari kebebasan berpikir menjadi ruang yang dikontrol oleh kekuatan militer.

Kemudian, kembali lagi menyoroti tentang UU TNI yang juga memberikan wewenang kepada militer dalam penanggulangan ancaman siber. Keterlibatan TNI di ruang siber tentunya memunculkan kekhawatiran besar, sebab kewenangan ini sangat rentan untuk disalahgunakan. Pers mahasiswa, agenda jurnalistik di kampus, hingga berbagai bentuk kritik yang disuarakan melalui media sosial, bisa saja dikategorikan sebagai ancaman yang dianggap akan memecah belah bangsa. Ini membuka peluang bagi militer untuk semakin memperketat kontrol terhadap kebebasan berekspresi di dunia digital. Padahal, ruang digital selama ini menjadi salah satu tempat terakhir bagi mahasiswa untuk menyuarakan aspirasi serta melakukan kontrol terhadap kebijakan publik. Jika ruang ini pun dikunci rapat oleh aparat maka hak berekspresi yang dijamin dalam demokrasi akan semakin terkikis, lalu masihkah kita benar-benar hidup dalam negara yang menjunjung kebebasan berpendapat?

Selama ini mahasiswa telah menjadi garda terdepan dalam memperjuangkan demokrasi. Dari Reformasi 1998 yang berhasil menggulingkan rezim Orde Baru hingga berbagai aksi demonstrasi menolak ketidakadilan sosial. Mereka bersuara, berusaha, membela dan menyerukan berbagai bentuk keadilan yang sudah sepatutnya diperjuangkan. Namun sekarang, untuk sekadar berpikir kritis pun rasanya tidak aman. Dengan campur tangan militer pada ranah akademik, ruang demokrasi mahasiswa semakin terancam. Tidak hanya pada mahasiswa, tetapi pendidikan secara keseluruhan juga mengalami kemunduran karena adanya ketakutan dan tekanan yang dapat membungkam kebebasan berpikir. Kampus, yang seharusnya menjadi tempat lahirnya gagasan-gagasan progresif dan inovatif, justru berubah menjadi ruang yang penuh kontrol dan pengawasan. Jika kebebasan akademik semakin dipersempit, apa esensi pendidikan sebagai ruang untuk bertukar ide dan membangun pemikiran kritis?

UU TNI ini memaksa kita untuk kembali ke masa-masa kelam Indonesia yang telah lama dikubur dalam upaya untuk menjadi negara yang lebih baik. Jika Reformasi 98 dilakukan untuk mencegah dominasi militer di ranah sipil maka UU ini justru membuka kembali ruang bagi TNI untuk terlibat lebih jauh dalam kehidupan masyarakat, termasuk di kampus. 

Peristiwa Tanjung Priok 1984 yang memakan 79 korban akibat penindasan oleh militer menjadi bukti sejarah betapa bahayanya keterlibatan TNI dalam ranah sipil. Namun, nyatanya hal ini tidak membuat para pemangku kebijakan ragu dalam mengesahkan revisi UU TNI. Bahkan, laporan yang dirilis KontraS saat HUT TNI ke-79 pada tahun 2024 yang mencatat sebanyak 64 peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh TNI terhadap warga sipil juga tidak mempan, sungguh ironis bukan ketika fakta dan data yang ada tidak pernah digubris oleh mereka yang memperkenalkan diri sebagai pelindung rakyat tapi nyatanya juga menjadi aktor dalam berbagai pelanggaran hak asasi manusia.

UU TNI bukan hanya aturan di atas kertas, tetapi pedang yang siap memotong kebebasan sipil. Mahasiswa sebagai penggerak perubahan, tidak akan hanya diam ketika dibungkam. Mahasiswa bukan hanya pengamat, mahasiswa akan tetap selalu menjadi garis terdepan dalam mengawal demokrasi. Demokrasi bukan sesuatu yang datang dengan sendirinya, ia harus terus dijaga bukan dengan senjata dan ketakutan, tetapi dengan pikiran yang bebas dan keberanian untuk bersuara. Jika mereka mengubah ruang akademik menjadi ruang kontrol militer, maka kita juga harus mengubahnya menjadi medan perjuangan bagi kebebasan dan keadilan. Jika mereka tak mau diam dalam memporak-porandakan demokrasi, maka kita juga tidak boleh diam dalam mengawal demokrasi.

Post Author: pers-upn

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *