Lembaga Bantuan Hukum Turut Andil dalam Dugaan Kasus Kekerasan yang Nyatanya Belum Usai
Ilustrasi Latihan Fisik Menwa
Sumber: DuckDuckGo
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur (UPNVJT) sebagai “civitas academica” tentu memiliki Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang diunggulkan. Salah satu yang diunggulkan di UPNVJT yaitu Resimen Mahasiswa (Menwa). Menwa di UPNVJT memiliki posisi yang cukup gemilang ditemani dengan UKM Mahapala dan UKM Pramuka yang menempati posisi sebagai trio unggulan. Namun, UKM unggul tidak luput dari masalah dan polemik yang menimpanya. Menwa saat ini diduga sedang tersandung masalah besar dikarenakan didik latihannya memakan korban, bahkan korban sampai masuk ke Ruang ICU (Intensive Care Unit) dan dilarikan ke psikiater. Telah ada laporan ‘dugaan’ kekerasan yang dialami oleh beberapa mahasiswa yang merupakan korban di UKM Menwa, tepatnya di Batalyon 806 dan laporan ini diterima setelah inisiatif dari advokasi Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum (BEM FH). Kasus ini memiliki implikasi hukum yang serius, dengan itu penanganan kasus ini harus dilakukan dengan cepat untuk memberikan kepastian hukum kepada korban dan memberi kejelasan apa yang sebenarnya terjadi. Meninjau hal tersebut, apakah hal ini hasil dari pembiasaan yang gagal atau justru jauh dari pembiasaan hingga praktik penyelewengan yang fatal?
M selaku korban praktik pembiasaan yang keras ini mengungkap bahwa selama dalam pelatihannya, kesehatan M dan teman-temannya diabaikan meskipun M dan teman-temannya sakit. Kejadian ini terjadi saat mengikuti pra-diklat dan Raid Baret (kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan baret), M tidak kuat dan kesulitan berjalan, tetapi tetap dipaksa melanjutkan kegiatan. Menwa tidak menghiraukannya dan tetap meminta M untuk berpartisipasi dalam kegiatan. M diberikan kacang hijau untuk menambah stamina dan tetap disuruh berlari hingga berakibat kehilangan kesadaran sebelum subuh dan dilarikan ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) hingga ICU. M juga mengatakan adanya pengabaian terkait kesehatan yang serius dilakukan oleh Menwa. “Kesehatan saya sama teman-teman itu disepelekan. Teman saya waktu pra-diklat itu sudah muntah, disuruh mungut, terus dia pingsan, dia disadarin, pas udah stabil disuruh ikut lagi, terus ada yang sampai bengkak jantung. Menwa ini udah disuruh untuk rontgen teman saya yang ini, tapi nggak digubris. Akhirnya beneran, dia kambuh, dadanya sakit,” ungkap M (22/6).
Selama kegiatan pra-diklat yang berlangsung selama lima hari, M mengalami kondisi kesehatan yang memburuk dan gangguan psikologis yang makin parah. “Saya ada gangguan psikologis, saya panik, saya teriak-teriak gitu saking paniknya. Mereka bilangnya, ‘itu temanmu mulai gila itu’ sampai ada pikiran buat menyakiti diri sendiri. Ini baru konsultasi ke psikiater terus divonis ada kelainan,” ungkap M (22/6). Tidak hanya itu, M juga mengalami infeksi saluran kencing, tensi yang terlampau rendah, kelelahan hebat, hingga terdapatnya bakteri di dalam darahnya. Diagnosis tersebut keluar setelah mengikuti rangkaian kegiatan Menwa. M juga tidak menerima permintaan maaf atau laporan resmi dari pihak Menwa terkait kondisi yang dia alami. Biaya pengobatan ke psikiater tidak ditanggung oleh Menwa, dan biaya masuk IGD hingga ICU ditanggung oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS). Meskipun sebelumnya ada komunikasi dengan ayah M bahwa kehadiran M akan disesuaikan dengan kesehatannya, M tetap dipaksa untuk berpartisipasi dalam kegiatan seperti anggota lain yang sehat.
Berbicara terkait kegiatan Menwa, terdapat korban lain sebut saja R yang menjadi korban pembiasaan keras yang berujung kekerasan ini. “Saya pingsan waktu pradik itu karena udah nggak kuat mengguling, terus kan pusing ya terus disuruh bangun, tiarap berkali-kali, sampai muntah, tapi masih tetep disuruh lanjut karena udah lemes banget lalu saya pingsan. Pas beneran udah pingsan saya dibawa ke poliklinik sampai saya sadar, terus dikasih oksigen dari poliklinik, ditensi, minum obat. Waktu tensinya sudah normal disuruh balik lagi buat ikut,” ungkap R (22/6). R juga mengatakan dia dan teman-temannya disuruh makan sambil menceburkan diri ke danau saat hujan dan mengalami luka-luka karena aktivitas lainnya seperti merayap hingga merangkak, tetapi R mengatakan hal tersebut tidak apa-apa. Terdapat juga insiden lain saat R hendak ditolong oleh temannya yang menghadiahkan personil Menwa mendaratkan tamparan di muka temannya. “Saya sempat didorong sama provos agak kenceng banget karena saya bawa tas T45 juga, jadi sampai jatuh terjungkal ke belakang. Nah, salah satu teman saya yang satu latsar sempat mau menolong saya tapi abis itu dia yang kena tindak sama provos, ditampar karena nolongin saya,” ujar R (22/6).
Tampar menampar sendiri ternyata dilarang keras untuk diketahui di luar Menwa, tetapi untuk praktiknya tidak sekeras pelarangannya. Tindakan yang diberikan oleh Menwa tergantung pada situasinya. Sebagai contoh, saat UPN Jatim Edu Expo (UJEE) ada kesalahan lupa memberi aba-aba hormat dan mereka dikumpulkan, senior diarahkan untuk saling menampar, sedangkan para junior diharuskan melakukan sikap tobat dan push-up sebanyak 50 kali. R merasa pembiasaan keras yang dialaminya ini terjadi sejak mereka masih menjadi calon anggota (camen) Menwa. Pembiasaan yang keras seperti dipaksa untuk tiarap dan melakukan push-up sudah terjadi sejak saat itu. Tetapi, kekerasan penamparan baru terjadi sejak mereka mengikuti pra-diklat hingga sekarang.
Biro Konsultasi, Mediasi dan Bantuan Hukum (BKMBH) selaku lembaga bantuan hukum merespons keras terkait hal ini dan mengupayakan penegakan hukum penuh untuk korban. Eka Nanda Ravizki selaku sekretaris BKMBH memberikan keterangan bahwa dia prihatin baik yang sudah terjadi maupun yang masih potensi berbentuk apa pun. Eka mengupayakan untuk terangnya kasus ini dalam rangka penyidikan, penyelidikan, dan jelasnya informasi kronologi, serta SOP yang sudah dilakukan Menwa, tetapi hingga kini masih nihil dua hal tersebut. “Hingga hari ini, 22 Juni kita belum bertemu dan menerima klarifikasi resmi dari Menwa maupun pembina Menwa, padahal kami sudah mencoba memanggil perwakilan Menwa dan kita sudah berkoordinasi dengan pembina Menwa, tapi memang belum berkesempatan,” ujar Eka (22/6).
Menanggapi kasus ini Menwa mengatakan bahwa yang mereka lakukan sudah sesuai, sama sekali tidak menyalahi standar operasional mereka. “Sebenarnya, setiap kegiatan kita itu pasti pak Warek tahu. Soalnya secara struktur itu, dari kita komandan, pembina, kemahasiswaan, pak Warek. Jadi, setiap kegiatan yang kita lakukan atau ada apa pun yang terjadi di lapangan pasti sudah dilaporkan dan nggak mungkin tidak dilaporkan,” ungkap salah satu anggota Menwa (22/6). Dia juga mengatakan kasus ini sudah selesai dan telah baik-baik saja. “Sebenarnya itu (kasus ini) sudah bisa dibilang baik-baik saja, bukan masalah tapi hanya isu. Kasus ini diangkat lagi dan bukan masalah karena semuanya sudah clear sampai pada saat kemarin itu ada panggilan atau apa itu,” tegasnya (22/6). Dapat dikatakan semua rangkaian kejadian telah sampai di pusat, tetapi dengan pusat mengetahui kegiatan ini tidak mencegah kasus seperti ini terjadi. Dugaan kasus ini diharapkan memicu kesadaran pentingnya untuk segera menyelesaikan masalah ini tanpa mengkerdilkan kekerasan terhadap fisik seolah-olah menjadi kasus-kasus yang sepele dan kecil. (ant/eva/ila/wel)