Aliansi BEM Surabaya Berunjuk Rasa Menolak UU Ciptaker dan Menuntut Keresahan Lainnya
Demonstran sedang Menyampaikan Aspirasi di Depan Gedung DPRD
Sumber: Dokumentasi Pribadi LPM Pena Merah
Aksi demonstrasi penolakan yang dilakukan Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Surabaya dan berbagai tuntutannya terhadap Undang-undang Cipta Kerja (Ciptaker) berujung kekecewaan. Aksi yang diikuti oleh berbagai universitas mulai dari ITS, Uinsa, Untag, Unitomo, Unair, UWK hingga universitas lainnya dan aksi yang membawa 5 tuntutan termasuk penolakan UU Ciptaker ini membuahkan rasa nyeri dikarenakan tidak hanya kurang direspon dengan baik, melainkan juga seperti hanya dinina bobokan kan saja. Dalam aksi demonstrasi yang dilakukan Aliansi BEM Surabaya ini mereka membawa 5 tuntutan yaitu: tolak UU Ciptaker, disahkannya UU Perampasan Aset, evaluasi angka kemiskinan Jawa Timur, dan tolak komersialisasi kampus berbasis PTN-BH (Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum), serta Implementasikan PERMENDIKBUD No.30/2021 Tentang PPKS (Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual). Aksi yang berbuah kecewa yang dilakukan pada hari Rabu (12/4) ini tidak dikatakan percuma, karena telah berhasil membuat pihak pemerintah memberikan respon walaupun tidak memberikan respon sesuai yang diharapkan.
Aksi yang tidak direspon baik oleh pemerintah ini membuahkan hasil yang seolah-seolah menjadi martir untuk aksi yang akan dilakukan lagi nantinya. Arya Alfiansyah selaku Koordinator Lapangan dari Unair mengatakan bahwa yang pemerintah lakukan seperti mengkhianati perjuangan dari mahasiswa. “Aksi pada hari ini, yang kita ketahui semua bahwasanya DRPD telah menolak tuntutan dari kami semua yang menunjukkan bahwasanya DPRD menghianati dari perjuangan mahasiswa itu sendiri yang rela siang-siang pada saat berpuasa turun aksi untuk memperjuangkan daripada tuntutan rakyat itu sendiri. Padahal yang di sini mewakili rakyat harusnya secara legitimasinya yang berhak adalah DPRD itu sendiri. Tapi kita tau temen-temen semua bahwasanya DPRD tadi menolak tuntutan kami,” ujar Arya (12/4). Ia juga mengatakan bahwa aksi tidak hanya berlangsung kemarin saja melainkan akan ada aksi lanjutan, bahkan lebih besar.
Aksi demonstrasi ini tentunya memperjuangkan value yang mana memiliki benefit untuk masyarakat nantinya, mengingat UU Ciptaker ini sangat mengancam masyarakat khususnya buruh di Indonesia. Undang-undang ini sendiri memiliki dampak yang kurang menguntungkan jika tetap disahkan seperti terancam tidak dapatnya pesangon ketika mengundurkan diri, terkena PHK, atau meninggal dunia. Persaingan untuk mereka pun lebih ketat dengan adanya penghapusan sejumlah aturan untuk pekerja asing (UU No. 13 Tahun 2003) dan dihapusnya perizinan tertulis sesuai dengan Pasal 81 poin 4 UU Ciptaker. Tidak hanya itu, kerugian lain seperti tidak adanya UMK, ditambahkannya jam lembur, dihilangkannya cuti panjang, hingga dihapusnya batasan maksimum 3 tahun untuk karyawan kontrak pun juga dampak apabila undang-undang ini tetap disahkan. Maka, dengan alasan itulah Aliansi BEM Surabaya tetap gigih menolak disahkannya undang-undang ini.
Pada aksi demonstrasi ini, Aliansi BEM se-Surabaya berhasil mendatangkan ketua DPRD Jawa Timur yaitu Kusnadi untuk menanggapi poin tuntutan yang disampaikan. Kusnadi mengatakan bahwa ia sejalan dengan tuntutan mahasiswa, hanya itu saja tidak lebih. Aliansi BEM Surabaya yang menyempatkan hadir, dan telah berkomitmen tentunya sedikit naik pitam. Pasma selaku anggota Kepolisian Polrestabes Surabaya juga menjelaskan bahwa Aliansi BEM Surabaya telah berkomitmen melakukan aksinya dengan baik mulai dari memberikan surat pemberitahuan akan adanya aksi, setuju bubar aksi pukul 15.35 WIB tepat dan berlaku tertib. “Sejauh ini masih tertib, masih bisa bekerja sama dengan kami yang dari kepolisian, juga dari adik-adik mahasiswa telah berkomitmen untuk mematuhi ketentuan. Bahwa setelah orasi dan ketemu dengan anggota DPRD, maka akan dibubarkan,” ucap Pasma (12/4). Demonstran meminta untuk menelepon ketua DPR RI untuk mengatakan bahwa DPRD Jawa Timur tidak setuju dengan sahnya UU Ciptaker sesuai dengan pernyataan kusnadi di awal. Namun, beliau tidak menyanggupi dan hanya dapat bertindak normatif yaitu mengeluarkan surat normatif belaka.
Tidak hanya itu, aksi diperparah dengan walk out-nya Kusnadi dan menyerukan bahwa aksi ini intimidasi, hingga membuat beberapa demonstran geram dan melampiaskan kekesalan dengan melempar sampah air mineral serta menggoyangkan kawat baja berduri. “Mungkin kita akan membuat aksi yang lebih besar di kemudian hari untuk melakukan tuntutan yang sama sampai dari DPRD itu sendiri mengiakan tuntutan kami,” gigih Arya. Tentunya hal ini sangat disayangkan mengingat undang-undang ini sudah sangat jelas tidak mensejahterakan dan wajar untuk ditolak, tetapi yang terjadi sebaliknya yaitu pemerintah tetap tutup telinga, lagi. (ant/dng/esa)