Aksi IWD Surabaya 2025 menjadi Ajang Menyuarakan Tuntutan Keadilan

Perempuan hingga Buruh Menggugat Ketidakadilan dalam Kebijakan yang Tak Berpihak

Aksi IWD Surabaya 2025

Sumber: Dokumentasi Pribadi LPM Pena Merah

Aksi International Women’s Day (IWD) 2025 telah digelar pada 19 Maret 2025 di depan Gedung Grahadi, Surabaya. Diikuti oleh gabungan masyarakat sipil, termasuk buruh dan berbagai organisasi perempuan, aksi ini mengusung 55 tuntutan yang terbagi ke dalam 9 sektor utama, yaitu sektor kekerasan berbasis gender, sektor pendidikan, sektor inklusivitas, sektor pekerja/buruh, sektor kesehatan, sektor agraria dan lingkungan, sektor demokrasi & HAM, sektor budaya, dan sektor ekonomi dan sosial.

Aksi IWD Surabaya 2025 bukan sekadar sebuah peringatan tahunan, melainkan sebuah gerakan yang menentang sistem serta budaya yang menindas. Melalui aksi ini, masyarakat dapat menyuarakan perlawanan terhadap ketidakadilan yang masih mengakar serta memperjuangkan perubahan menuju keadilan dan kesetaraan bagi semua. Selain itu, aksi IWD Surabaya merupakan upaya nyata untuk mendorong kebijakan yang lebih adil dan berpihak pada perempuan.

“Dalam momen ini, kita ingin mendengar suara perempuan lebih keras dan lebih lantang. Ini menjadi momen besar bagi perempuan untuk memiliki ruang dalam mengekspresikan diri, menyuarakan hak, serta menyampaikan tuntutannya atas keadilan,” ungkap Kenzo, perwakilan dari Laskar Mahasiswa Republik Indonesia. 

Kenzo juga menyatakan bahwa aksi ini tidak hanya menyoroti persoalan perempuan, tetapi juga berbagai bentuk penindasan yang terjadi di berbagai sektor. “Aksi ini sebenarnya untuk memperingati International Women’s Day pada 8 Maret. Namun, karena beberapa hal kami juga meng-highlight seluruh momentum penindasan, termasuk kasus pemecatan buruh yang mengajukan cuti hamil di Hotel Tunjungan, permasalahan Danantara, serta RUU TNI yang semakin memperkuat budaya kekerasan di institusi negara,” ujarnya.

Kenzo berpendapat bahwa pemerintah, sebagai bagian dari struktur dan sistem, menjadi pihak yang memungkinkan penindasan terus terjadi. Ia menyoroti bagaimana berbagai kebijakan yang dihasilkan justru memperparah ketimpangan dan merampas hak-hak rakyat. Selain itu, ia menekankan bahwa penindasan terjadi dalam berbagai aspek kehidupan, tidak terbatas pada identitas atau gender, tetapi juga mencakup hak atas lingkungan hidup yang layak.

“Dari segala struktur dan sistem termasuk bahasa sendiri pun, penindasan selalu ada dan niscaya, semua orang itu bisa jadi korban. Tidak hanya permasalahan identitas, tidak hanya penindasan dari segi gender, tapi juga permasalahan ruang hidup. Ruang hidup yang layak, yang nyaman, yang sehat, dan hak atas tanah. Penindasan itu selalu ada,” ungkapnya.

Kenzo sekali lagi menegaskan bahwa sistem pemerintahan sendiri merupakan pihak utama yang mewadahi kebijakan-kebijakan yang merugikan rakyat. “Pemerintah sebagai aparatur negara adalah ajang paling besar yang kemudian menerima segala kebijakan yang menindas rakyat. Untuk itu, kita menjalin solidaritas yang ibaratnya adalah satu-satunya senjata yang mutakhir yang sedang kita kokang bersama,” terangnya.

Kenzo juga menambahkan bahwa aksi ini menjadi momen besar bagi kaum perempuan sebagai kelompok yang sangat dekat dengan penindasan untuk dapat mengekspresikan diri dan menyuarakan haknya. “Dalam momen ini, kita ingin mendengar suara perempuan lebih keras dan lebih lantang. Ini menjadi momen besar bagi perempuan untuk memiliki ruang dalam mengekspresikan diri, menyuarakan hak, serta menyampaikan tuntutannya atas keadilan,” imbuhnya.

Selain itu, Feby Damayanti, perwakilan dari Persatuan Waria Kota Madya Surabaya (Perwakos) mengungkapkan bahwa keterlibatan masyarakat sipil dalam gerakan ini mencerminkan adanya partisipasi aktif dalam memperjuangkan hak-hak perempuan. Ini menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat yang peduli dan bersuara terhadap isu-isu perempuan serta berbagai bentuk penindasan. 

“Ini hanya awal aksi kami untuk menyuarakan dan mengubah perspektif. Kita juga ingin memperlihatkan ke masyarakat umum bahwasannya ada partisipasi aktif  dari masyarakat sipil yang sebenarnya itu sudah mulai peduli pada isu-isu perempuan terutama isu kekerasan,” jelasnya.

Selaku koordinator program dari Perwakos, Feby membagikan harapannya terkait perjuangan untuk membela keberagaman gender dan seksualitas yang sering kali dilakukan tanpa dukungan yang memadai. Ia juga mengungkapkan bahwa aksi mereka terhadap tuntutan isu perempuan dan kesetaraan gender tidak akan pernah berhenti meskipun memiliki berbagai kendala dalam prosesnya. “Kami berharap ketika kami diakomodir oleh isu perempuan yang ada di Surabaya, kita akan berjuang bersama-sama,” ungkapnya. 

Aksi IWD Surabaya 2025 diadakan sebagai simbol perlawanan dan ajakan kepada masyarakat luas untuk terus peduli dan bersuara terhadap ketidakadilan yang dialami oleh perempuan dan masyarakat minoritas. Aksi ini hadir untuk menegaskan bahwa perlawanan terhadap sistem yang menindas tidak berhenti di satu momentum saja, melainkan harus menjadi gerakan berkelanjutan yang melibatkan seluruh elemen masyarakat. Dengan semakin banyaknya partisipasi masyarakat sipil, diharapkan kesadaran akan isu-isu perempuan, keberagaman gender, serta hak-hak buruh dapat semakin kuat, sehingga perubahan kebijakan yang lebih adil dan berpihak pada rakyat dapat terwujud. (cca/end)

Post Author: pers-upn

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *