WALHI Jatim Soroti Skema Menyesatkan yang Berisiko Merugikan Lingkungan

Diseminasi Riset WALHI Jatim
Sumber: Dokumentasi Pribadi LPM Pena Merah
Jumat, 15 Februari 2025, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jawa Timur (Jatim) menggelar diseminasi laporan penelitian terkait penerapan co-firing biomassa di PLTU Paiton. Meskipun skema ini dipromosikan sebagai langkah transisi energi untuk mengurangi ketergantungan pada batu bara dan menekan krisis iklim, hasil riset WALHI Jatim justru menunjukkan dampak negatif yang berpotensi merugikan lingkungan serta masyarakat sekitar.
PLTU Paiton, yang berlokasi di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, telah beroperasi sejak 1994 dengan batu bara sebagai bahan bakar utama. Pembangkit ini mulai menerapkan co-firing biomassa dengan mencampurkan bahan bakar alternatif, seperti pelet kayu dan cangkang sawit sebagai bagian dari upaya transisi energi. Namun, porsi biomassa yang digunakan hanya berkisar 5-10%, sedangkan mayoritas bahan bakar masih berasal dari batu bara.
Menurut WALHI Jatim, implementasi co-firing ini tidak hanya gagal menekan emisi secara signifikan tetapi juga menimbulkan risiko deforestasi akibat tingginya kebutuhan biomassa. “Dari skema ini muncul masalah baru, dan yang paling serius adalah deforestasi. Co-firing ini juga tidak menggunakan sembarang tanaman, melainkan jenis tertentu seperti gamal. Karena membutuhkan pasokan dalam jumlah besar, hutan alami itu digantikan dengan hutan produksi melalui skema Hutan Tanaman Energi (HTE),” ungkap Lila, anggota tim riset WALHI Jatim.
Lebih lanjut, WALHI Jatim mencurigai adanya kepentingan bisnis di balik keputusan untuk menunda pemensiunan PLTU Paiton. “Skema co-firing ini tidak 100% menghilangkan batu bara. Hanya ada label hijau yang klaimnya transisi energi, jadi kewajiban memensiunkan bisa jadi gugur karena itu,” tambah Lila.
Penerapan co-firing biomassa di PLTU Paiton melibatkan berbagai pihak, termasuk perusahaan seperti PT Raja Muda Gemilang, Perhutani, investor asing, Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS), hingga institusi akademik seperti Universitas Gadjah Muda. Dukungan dari berbagai pihak ini turut memperkuat posisi biomassa sebagai alternatif energi hijau, yang pada akhirnya berpotensi menunda pemensiunan PLTU Paiton yang sebelumnya dijadwalkan untuk dipensiunkan secara bertahap hingga 2030.
Dengan ditundanya pemensiunan PLTU Paiton, penerapan co-firing biomassa justru memperburuk kondisi lingkungan dan kehidupan masyarakat sekitar. Haq, warga Desa Karanganyar, Kecamatan Paiton, menggambarkan bagaimana skema ini menambah usia penderitaan masyarakat setempat. Ia menjelaskan para nelayan harus melaut lebih jauh karena wilayah di sekitar mereka terdampak limbah PLTU Paiton. “Nelayan tradisional biasanya mengandalkan ikan-ikan kecil sebagai penanda keberadaan ikan besar, tapi sekarang ikan-ikan kecil yang menjadi kompas itu menghilang karena debu PLTU yang mengambang di permukaan laut. Jadi, para nelayan berusaha melaut lebih jauh, yang otomatis biaya bahan bakar solar meningkat. Ini semakin menghimpit perekonomian masyarakat,” ujarnya.
Tak hanya pada nelayan, tembakau yang sempat menjadi komoditas emas warga lokal juga terkena imbas pembakaran biomassa PLTU Paiton. “Pernah ada satu momen di Binor, masyarakat itu panen tembakau dan mencucinya di sungai karena sudah terpapar debu batu bara,” imbuh Haq.
Selain berdampak pada perubahan sumber mata pencaharian masyarakat, WALHI Jatim juga menyoroti meningkatnya ketergantungan warga terhadap industri akibat terbatasnya akses penghidupan mereka serta perubahan struktur sosial di sekitar PLTU Paiton. Roni, anggota tim riset WALHI Jatim, mengungkapkan bahwa keberadaan PLTU Paiton turut memicu ketegangan sosial di kalangan masyarakat. “Ngomong masalah batu bara yang berceceran, itu banyak dirasakan oleh warga dan mereka sebenarnya ingin membicarakan, menyuarakan hal itu. Namun, mereka takut karena kondisi betapa besarnya PLTU Paiton di sana,” pungkasnya.
Indri, dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga, turut menyoroti ketimpangan dalam kebijakan ini. Ia menilai bahwa dampak sosial dan lingkungan yang ditimbulkan jauh lebih besar dibandingkan manfaat yang diperoleh. “Kalau problem ini meluas berarti bukan hanya masalah localized. Yang awalnya masalah lokal, kini menjadi masalah nasional,” tegasnya.
Dengan temuan-temuan tersebut, WALHI Jatim menegaskan bahwa co-firing biomassa di PLTU Paiton bukanlah solusi transisi energi yang benar-benar berkelanjutan. Sebaliknya, kebijakan ini justru memperburuk kondisi lingkungan dan sosial. Oleh karena itu, evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan ini menjadi hal yang mendesak agar transisi energi dapat dilakukan dengan mempertimbangkan dampak ekologis, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat secara lebih luas. (cca/end/daa/fdl)