Kebijakan Selektif PPN 12% Dirancang agar Tidak Bebani Ekonomi Masyarakat Umum
Pajak
Sumber: pexels
Pemberitaan mengenai kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang akan diterapkan pada 1 Januari 2025 menjadi isu hangat di kalangan masyarakat Indonesia karena dinilai cukup memberatkan seluruh masyarakat. Kenaikan PPN ini telah sesuai dengan amanah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Namun, penerapan PPN 12% hanya akan dikenakan pada barang dan jasa dalam kategori mewah.
Menurut Wibisono, selaku dosen perpajakan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), tarif PPN yang menjadi 12% tidak menyalahi undang-undang karena pada undang-undang pertamanya yakni tahun 1985 mengamanatkan bahwa tarif PPN dimulai dari 5-15%. “Sebenarnya tarif PPN itu di undang-undang pertama kali reformasi tahun 1985 sudah mengamanatkan bahwa tarif PPN itu dimulai dari 5-15%. Jadi di range itu berarti kan tidak ada pelanggaran undang-undang. Jadi diperbolehkan menaikkan hingga 15% sesuai range tersebut itu pun boleh, disesuaikan dengan situasi dan kondisi ekonomi masyarakat Indonesia,” ungkapnya.
Kebijakan kenaikan PPN yang semula adalah 11% menjadi 12% merupakan upaya pemerintah untuk meningkatkan pendapatan negara. Kenaikan PPN tersebut tidak ditujukan kepada masyarakat kelas menengah ke bawah, tetapi ditujukan untuk masyarakat menengah ke atas yang memiliki pendapatan lebih besar pada saat mereka membeli barang-barang mewah. “Kalau yang saya dengar memang baru-baru ini dikatakan PPN akan dinaikkan 12% sehingga ada masyarakat yang bergejolak. Akhirnya pemerintah akan menaikkan PPN ini untuk khusus barang yang mewah karena barang mewah ini kan tidak semua masyarakat bisa beli,” jelas Wibisono.
Menurut Laily, dosen Program Studi Ekonomi Pembangunan, dampak kenaikan PPN terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia ialah kenaikan PPN dapat menekan daya beli masyarakat untuk kebutuhan sehari-hari, tetapi hanya berdampak pada masyarakat yang berpenghasilan tinggi saja dan tidak akan menghambat Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. “Terkait dengan daya beli masyarakat, memang karena kan PPN dapat menekan daya beli masyarakat untuk kebutuhan sehari-hari. Tetapi, hal tersebut hanya berdampak kepada orang orang yang memang berduit gitu katakanlah. Jadi memang bisa menghambat konsumsi rumah tangga dan itu bukan merupakan kontributor utama untuk PDB Indonesia.”
Kenaikan PPN 12% yang diterapkan hanya pada barang dan jasa mewah merupakan kebijakan yang selektif. Barang mewah yang terkena kenaikan diantaranya beras premium, daging premium, ikan dan seafood premium, buah-buahan premium, layanan pendidikan premium, pelayanan kesehatan VIP, listrik daya besar mulai 3.500 -6.600 VA . Hal tersebut tidak akan mengganggu konsumsi masyarakat umum. Selain itu, dengan kebijakan yang diterapkan tetap dapat meningkatkan penerimaan negara “dengan adanya kebijakan bahwa selektif itu tadi kenaikan PPN hanya pada barang atau jasa non esensial atau barang barang mewah, maka konsumsi masyarakat itu diharapkan tidak terganggu dan plusnya adalah penerimaan negara itu meningkat akibat kontribusi dari masyarakat kelas atas. Itu yang diharapkan oleh pemerintah, “ jelas Laily
Terkait dengan kebijakan khusus tersebut Umi selaku penjual minuman di kantin UPNVJT mengatakan bahwa jika di khususkan untuk barang mewah maka ia tidak masalah. Tetapi jika kenaikan itu dikenakan untuk barang pokok maka itu akan berdampak pada usaha yang ia jalani “ kalau menurut saya ya nggak papa untuk barang barang mewah. Soalnya kan yang bisa beli barang barang mewah itu ya hanya orang orang tertentu yang banyak uang. Jadi kalau barang-barang mewah ya saya setuju setuju aja, soalnya gak terlalu berpengaruh. Kalau (PPN itu diperuntukkan ke) barang barang pokok seperti minyak, gula, itu berpengaruh “ ujarnya.
Tolak ukur keberhasilan kebijakan kenaikan PPN yang menjadi 12% membutuhkan pelaksanaan yang transparan dari pemerintah agar masyarakat tidak merasa dibohongi terutama pada pengalokasian tambahan pendapatan negara dari PPN tersebut. Laily mengatakan kebijakan ini harus diiringi dengan komunikasi yang bagus serta komunikatif agar kedepannya tidak akan lagi terjadi kesalahpahaman. “Tapi memang keberhasilan dari kebijakan ini tergantung juga pelaksanaan yang transparan, yang efektif, selektif, dan juga disertai dengan komunikasi yang bagus atau yang baik agar akhirnya ngga timbul kesalahpahaman dan juga pemerintah harus memastikan bahwa tambahan pendapatan ini yang diperoleh dari kontribusi kalangan elit ini itu benar-benar dialokasikan untuk program yang punya manfaat luas,” terangnya. (Ing/ar/nar/csf/daa)