Sebuah Doa untuk Sang Pelita

Oleh: Nurmalita Herdiana

Guru, Pahlawan Tanpa Tanda Jasa 

Sumber: Freepik 

Senja perlahan merangkak di cakrawala, melukis langit dengan gradasi jingga yang memudar. Lorong sekolah terasa begitu sunyi, hanya langkah kecilku yang terdengar memantul di dinding-dinding sepi. Aku berhenti sejenak, mengamati warna senja yang perlahan larut ke dalam gelap. Udara sore membawa aroma dedaunan basah, memberikan ketenangan yang aneh. Namun, di tengah keheningan ini, pikiranku tidak tenang.

Kenangan demi kenangan tiba-tiba muncul, wajah-wajah yang dulu kuanggap biasa kini menghantui ingatanku. Bapak Guru dengan mata tegasnya yang penuh kesabaran, Ibu Guru dengan senyum lembutnya yang penuh ketulusan. Mereka selalu hadir, meskipun sering kali kami abaikan.

“Sendiri di sini? Tumben,” suara Rina memecah lamunanku. Ia muncul dari arah koridor, membawa beberapa buku di tangannya.

“Ah, kamu,” jawabku sambil tersenyum tipis. “Sedang jalan-jalan aja.”

“Di lorong sekolah sore-sore? Kamu baik-baik saja?” Rina mendekat, wajahnya terlihat penasaran.

Aku terdiam sejenak. “Entahlah. Aku cuma… lagi mikir.”

“Mikir apa?” tanyanya, ikut berdiri di sampingku.

Aku memandang langit yang mulai gelap. “Tentang guru-guru kita. Tentang Bapak dan Ibu Guru. Kayaknya, aku banyak salah sama mereka.”

Rina ikut memandang ke langit, lalu menghela napas panjang. “Iya, aku juga sering kepikiran. Dulu kita kayak nggak pernah benar-benar menghargai mereka, ya?”

Aku mengangguk perlahan, ingatanku membawa kembali potongan-potongan masa lalu.

“Aku masih ingat ketika Bapak Guru mengingatkan kita untuk fokus pada tugas, tapi aku malah asyik main HP di kelas. Dia bisa lihat mataku yang kosong, tapi tetap saja dia berusaha keras untuk mengajar,” kataku, suara mulai bergetar.

Rina menunduk. “Iya, dan waktu itu aku malah berpikir dia terlalu kaku dan kolot. Aku bahkan sering berdebat dengannya di luar kelas. Tapi sekarang, aku sadar betapa banyak yang dia ajarkan tanpa kita sadari.”

Aku merasa sesak di dada. “Aku ingat betul suatu hari, Bapak Guru meminta kami untuk menceritakan impian kami. Aku malah menertawakan tugas itu, padahal mungkin itu adalah cara dia untuk membuat kita berpikir lebih jauh tentang masa depan.”

Rina menghela napas. “Kita cuma tidak siap waktu itu. Kita terlalu egois. Bahkan, aku sering ngomongin dia dengan teman-teman, mengejek cara mengajarnya. Aku merasa seperti dia sudah nggak relevan lagi dengan kita.”

“Aku nyesel banget,” gumamku. “Kenapa dulu aku nggak pernah lihat apa yang dia lakukan dengan penuh perhatian, sampai akhirnya semuanya terlambat.”

Rina terdiam, lalu menoleh. “Kamu ingat waktu Ibu Guru minta kita bikin refleksi tentang mimpi-mimpi kita?” tanya Rina, suaranya pelan.

Aku tersenyum tipis, getir. “Ingat banget. Aku anggap tugas itu nggak penting. Cuma buang-buang waktu.”

“Tapi sekarang kita tahu, kan? Dia cuma mau kita ngerti arti mimpi dan rencana masa depan,” lanjut Rina, suaranya terdengar sendu.

“Semua yang mereka lakukan ternyata penuh makna,” gumamku.

Kenangan lain mulai bermunculan. Aku teringat saat Bapak Guru mengajak kami keluar kelas untuk mengunjungi museum kecil di kota. Perjalanan sederhana itu ternyata memiliki makna besar. Ia ingin kami belajar lebih dari sekadar buku pelajaran, tetapi aku malah sibuk memotret untuk media sosial dan bercanda dengan teman-teman.

“Aku nggak tahu kenapa dulu aku begitu nggak peduli,” kataku akhirnya.

“Karena kita terlalu muda waktu itu,” jawab Rina pelan. “Dan mungkin terlalu sombong untuk menerima kebaikan mereka.”

Aku menunduk, hati semakin sesak. “Mereka selalu ada untuk kita, kan? Walaupun kita seringkali nggak peduli. Bahkan saat kita memberontak, mereka tetap percaya pada kita.”

Rina menatapku dengan tatapan serius. “Kamu tahu, aku sempat nyalahin mereka. Aku merasa, mereka cuma memberi beban lebih, seolah-olah mereka tidak peduli dengan apa yang kita hadapi. Dulu aku benci dengan cara mereka yang terkesan mengekang.”

Aku terdiam. “Aku nggak pernah merasa mereka mengekang kita. Aku cuma… merasa nggak siap menerima ajaran mereka waktu itu.”

Rina menghela napas. “Kita sering kali berpikir bahwa mereka hanya membuat hidup kita sulit. Padahal mereka hanya ingin kita menjadi lebih baik, lebih siap menghadapi dunia luar. Terkadang, kita terlalu egois untuk menyadari itu.”

“Aku pengen minta maaf sama mereka,” kataku, suaraku hampir serak. “Aku pengen bilang aku menyesal.”

“Kamu nggak sendiri, kok. Aku juga,” kata Rina sambil menyentuh pundakku. “Tapi setidaknya, sekarang kita sadar. Mungkin itu langkah pertama.”

Aku teringat saat-saat aku memberontak. Ada tugas yang sengaja tidak kukerjakan, ada nasihat yang kutolak mentah-mentah. Meski begitu, mereka tetap percaya pada kami. Mereka tidak pernah menyerah, bahkan ketika kami memberikan alasan untuk itu.

“Mereka selalu jadi pelita buat kita,” kataku, mencoba menahan emosi. “Tapi kita sering banget mencoba memadamkan cahaya itu.”

Rina mengangguk. “Tapi kamu tahu apa yang luar biasa dari mereka? Mereka tetap ada. Mereka tetap menyala.”

Langit kini gelap sepenuhnya, hanya menyisakan bintang-bintang kecil yang bersembunyi di balik awan tipis. Aku menarik napas panjang, mencoba meredakan gejolak di dalam dadaku.

“Menurutmu, apa mereka tahu betapa besar pengaruh mereka buat kita sekarang?” tanyaku, lebih kepada diriku sendiri.

“Mungkin mereka tahu,” jawab Rina. “Atau kalaupun tidak, kita bisa pastikan mereka tahu. Suatu saat nanti.”

Aku memandang Rina, mencoba menangkap makna di balik kata-katanya. Lalu aku tersenyum kecil. “Kamu benar. Aku akan cari cara untuk mengucapkan terima kasih.”

Kami mulai melangkah meninggalkan lorong itu, perlahan tapi pasti. Dalam hati, aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku tidak akan membiarkan cahaya yang telah mereka nyalakan redup.

“Bapak dan Ibu Guru,” bisikku lirih. “Maafkan aku. Terima kasih untuk segalanya.”

Malam itu, di bawah gelapnya langit, aku merasa hangat. Sebuah pelita kecil kembali menyala di dalam hatiku mengingatkanku untuk selalu bersyukur. Mereka adalah cahaya yang selalu menerangi jalanku, dan aku akan memastikan cahaya itu terus bersinar, untuk selamanya. Selamat Hari Guru untuk Bapak dan Ibu tercinta. Terima kasih atas segala pengorbanan, kesabaran, dan dedikasi yang telah kalian berikan. Kalian adalah pelita yang selalu menyinari langkah kami, dan kami akan selalu berusaha untuk menjaga cahaya itu tetap bersinar. Semoga kebahagiaan dan kedamaian selalu menyertai perjalanan engkau sang pelita.

Post Author: pers-upn

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *