oleh : Dini Melinda Agustin

Sumber : Freepik
Ritual kami ketika tanggal 22 Desember yaitu bangun subuh sekali menyiapkan masakan spesial buatan kami. Mbak memasak rendang dan aku memasak gulai kesukaan Ibu. kata Ibu, gulai buatanku adalah gulai terenak yang pernah Ibu makan namun aku tau itu hanyalah pujian yang hiperbola oleh Ibu supaya aku senang. Setelah selesai masak, kami membersihkan rumah agar saat Ibu terbangun, Ibu bisa langsung menyantap masakan buatan kami tanpa memikirkan pekerjaan rumah yang menumpuk.
Kami hidup bahagia bertiga, aku Ibu dan Mbak. Sedangkan Bapak lebih memilih perempuan lain yang dulunya rekan kerjanya, kejadian itu sekitar delapan tahun yang lalu ketika aku masih berusia sepuluh tahun. Bapak menceraikan Ibu didepanku dan di depan perempuan itu yang dibawanya ke rumah. Ibu hancur waktu itu, setiap malam hanya menangis sembari memelukku dan Mbak saat kami terlelap. Ibu hatinya sekokoh karang yang kuat menahan deburan ombak yang tiada hentinya. Sejak Bapak pergi, Ibu banting tulang agar bisa menghidupi kami. Akhirnya dengan kerja kerasnya Ibu berhasil menguliahkan Mbak hingga S2, sedangkan aku baru memasuki tahun pertama perkuliahan.
Setiap kali aku begadang karena mengerjakan tugas atau sekedar menggambar komik, Ibu selalu menghampiriku sembari membawa teh tawar hangat buatannya. Setiap kali aku demam karena kehujanan atau karena aku terlalu memaksakan diriku untuk menjadi yang terbaik, Ibu selalu membuatkan teh tawar hangat dan mengompresku sepanjang malam. Ketika kutanya kenapa selalu membuatkanku teh tawar hangat, kenapa tidak teh manis hangat saja, Ibu bilang bahwa Ibu sayang padaku, Ibu tidak mau kalau aku nanti mengidap diabetes seperti Ibu. Lantas, ku lihat tangan kiri Ibu yang sudah tidak memiliki jari manis akibat di amputasi sekitar tiga tahun yang lalu.
Sebenarnya aku tidak tega kalau harus meninggalkan Ibu sendirian sebab aku kuliah di luar kota, terlebih lagi Mbak yang telah membina keluarga kecilnya.
“Nduk, wes ndak papa kamu kuliah saja, ndak usah mikirin Ibu, Ibu lo baik-baik saja. Toh, rumah Mbakmu tidak jauh dari sini,” kata Ibu sembari mengelus lembut kepalaku yang kubaringkan di pangkuannya, jari jemari Ibu sudah mulai keriput dimakan waktu, mana tega aku melihat Ibu kesepian di rumah ini, tapi mau bagaimana lagi, aku harus memenuhi harapan Ibu untuk bisa berkuliah sesuai dengan minatku sehingga aku bisa menggapai impianku menjadi illustrator yang punya uang banyak agar bisa pergi berhaji atau setidaknya pergi umrah bersama Ibu. Sebab, Ibu pernah bercerita kepadaku sewaktu aku kecil kalau sebelum Ibu menemui sang kuasa, Ibu ingin melihat ka’bah terlebih dahulu.
***
Setahun pertama perkuliahan berjalan sangat lancar, IPK ku bagus, teman-teman yang sangat baik, dan beberapa waktu lalu aku memenangkan lomba komik digital yang hadiahnya lumayan. Aku rasa tahun tahun perkuliahan berikutnya akan berjalan lebih baik. Di sela-sela padatnya kegiatanku, selalu kusempatkan untuk menelepon Ibu untuk sekedar membicarakan bagaimana hariku atau menu apa yang akan ku masak.
Hari ini aku pulang kuliah lebih cepat dari biasanya, sesampainya di kos, aku membaca-baca berita yang tersebar di internet bahwa akan ada pembatasan sosial berskala besar dan sekolah sekolah akan diliburkan termasuk perguruan tinggi akibat adanya Covid-19 yang sudah menyebar di Indonesia. Aku memberi kabar kepada Ibu bahwa sepertinya aku tidak bisa pulang untuk waktu yang lama. Ibu mengiyakannya dan memberiku wejangan agar selalu menjaga kesehatanku.
Ku kira kuliah akan diliburkan beberapa minggu saja, tetapi ini sudah terjadi sepuluh bulan lamanya dan aku tetap tidak bisa pulang karena adanya pembatasan sosial berskala besar. Aku sangat rindu sekali dengan Ibu. Kemarin Mbak sempat bilang bahwa Ibu sedang tidak enak badan, katanya mungkin kadar gula darah Ibu naik. Aku menyuruh Mbak untuk segera membawa Ibu periksa ke dokter, aku sangat cemas, aku ingin segera pulang untuk bisa merawat Ibu.
Sampai larut malam, Mbak masih belum mengabari perihal kondisi Ibu, hal itu membuatku berpikir macam-macam. Hingga akhirnya pukul sebelas malam, Mbak meneleponku, katanya Ibu harus di isolasi karena Ibu terkena Civid-19. Kakiku langsung lemas mendengar kabar dari Mbak, bagaimana mungkin Ibu bisa terkena covid toh Ibu selalu di rumah, tidak pernah bepergian kemana-mana.
Malam itu juga aku mengemasi barang-barangku untuk pulang meski saat ini ada pembatasan sosial berskala besar, setiap jalan antar kota dijaga oleh polisi namun untung saja aku bisa lolos dan berhasil sampai di kotaku. Jam menunjukkan pukul empat pagi, Aku segera menuju rumah sakit tempat Ibu di isolasi, disana ada Mbak dan suaminya. Mbak tampak menangis tersedu-sedu diruang tunggu rumah sakit. Aku pun tidak bisa membendung air mataku. Lantas aku segera pergi ke musholla rumah sakit untuk berdoa kepada gusti Allah supaya Ibu baik-baik saja dan segera sembuh.
Sudah tiga hari agaknya aku tidak pulang dari rumah sakit, aku tidak bisa kalau harus meninggalkan Ibu sendirian di rumah sakit meski saat ini Ibu masuk ruang isolasi dan aku tidak bisa menemuinya. Hingga saat aku telelap dalam tidur di kursi rumah sakit, seorang suster mengabariku bahwa Ibu ingin di masakkan gulai olehku. Mendengar hal itu, aku sangat senang sekali, itu tandanya Ibu sudah sehat karena sebelumnya Ibu tidak bisa makan apa-apa kecuali bubur. Aku pun bergegas belanja untuk memasakan gulai. Sesampainya di rumah, aku segera mengeksekusi bahan-bahan yang telah kubeli. Ku buat gulai terenak yang pernah aku masak untuk Ibu. ku tuangkan dengan penuh hati-hati kuah gulai ke soup jar agar gulai tetap hangat saat disantap oleh Ibu.
Aku segera berangkat naik taxi online ke rumah sakit supaya Ibu dapat segera memakan gulai buatanku. Saat di tengah perjalanan, aku mendapat telepon dari rumah sakit, katanya kondisi Ibu baru saja kritis. Mendengar hal itu, membuatku sangat khawatir, pasalnya suster tadi pagi bilang bahwa kondisi Ibu sudah mulai membaik. Setelah sampai di rumah sakit, aku segera berlari menuju ruang isolasi namun tidak diperkenankan untuk masuk, sehingga aku hanya bisa melihat dari jendela kaca. Aku menghubungi Mbak karena aku tau di jam segini Mbak pasti sedang mengajar mahasiswanya. Namun, ini keadaan darurat sehingga Mbak ku suruh segera pergi ke rumah sakit.
Hingga akhirnya tepat pukul dua belas siang ketika adzan dzuhur di kumandangkan. 22 Desember, Ibu menghembuskan nafas terakhirnya sebelum merasakan gulai buatanku yang masih hangat. Selamat hari ibu untuk Ibuku yang sangat hebat dan kuat semoga gusti Allah menempatkan Ibu di dalam surganya. Aamin.