Resensi Novel Di Tanah Lada, Sebuah Karya Fiksi Bukti Indonesia: Fatherless Country

Oleh : Asih Saputri

Novel Di Tanah Lada
Sumber: gramedia

Di Tanah Lada merupakan novel yang ditulis oleh Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie. Novel ini mengantarnya menjadi juara dua salam Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 2015 silam. Dalam novel tersebut, sang tokoh menyebutkan bahwa arti dari Tanah Lada adalah tanah yang dapat menumbuhkan kebahagiaan. Untuk bisa mengerti kenapa bisa disebut demikian, mari kita simak resensi berikut. 

Ava, namanya Ava atau Salva. Seorang gadis kecil berusia 6 tahun yang bahkan sejak lahir sudah dianggap sebagai ludah oleh sang ayah sampai bahkan nyaris diberi nama ‘Saliva’ olehnya. Kecintaannya terhadap sang kakek atau biasa ia panggil Kakek Kia menimbulkan kecintaan baru terhadap bahasa Indonesia. Di usianya yang masih belia, ia banyak mengetahui arti kata baku yang seharusnya belum ia ketahui misalnya kata tolol, bebal, tengik, dan kata-kata lain yang ia ketahui melalui Kamus Besar Bahasa Indonesia yang senantiasa ia bawa. 

Meninggalnya Kakek Kia menjadi titik balik dalam hidupnya. Sang Ayah yang senantiasa berperilaku kasar mendapat sejumlah uang warisan setelah meninggalnya sang kakek. Hal tersebut kemudian membuatnya lupa diri dan menjadi tamak. Ia memutuskan menjual rumah nyaman yang selama ini ia tinggali Bersama sang istri untuk kemudian pindah ke Ibu Kota untuk memulai perjudian. Rusun Nero, menjadi latar terpenting dalam novel ini. Kamar 310 menjadi tempat tinggal yang menyesakkan karena hanya ada 1 kamar kecil, dapur, kamar mandi yang jauh dari kata layak dengan tembok kusam dan lembab serta lorong yang penuh dengan tikus. Rumah susun (rusun) ini menjadi tujuan tempat tinggal Ayah Ava karena dekat tempat perjudian di jantung Jakarta. Di rusun ini ia bertemu seorang anak kecil berusia 10 tahun bernama P yang secara tidak sengaja membantunya untuk memakan ayam goreng. 

Pertemuan tersebut kemudian membawa Ava dan P dalam perjalanan saling mengenal yang cukup melelahkan. Kejadian yang muncul setelah perkenalan keduanya penuh luka, pedih serta trauma yang mendalam. Ava yang diteriaki pelacur oleh sang ayah karena membawa anak kecil lain kemudian tidur di dalam kamar mandi, nyaris dilipat dalam koper yang menjadi alas tidurnya, menyaksikan P disiksa oleh sang ayah hingga tangannya dibakar menggunakan setrika, bahkan Ibu Ava pun yang sering lupa akan anaknya sendiri. Kejadian buruk yang mereka dapatkan sedari kecil dari sang ayah menjadikan mereka berpikir bahwa semua ayah di dunia ini jahat. Dalam sebuah dialog Ava bahkan menyebutkan bahwa sang Ayah adalah seorang setan. “Seperti ada hantu yang menggentayangi seluruh bagian rumahku. (Kata orang, hantu membuat ruangan jadi dingin.) Hanya saja, di dalam sini hantunya hidup. Hidup, berbadan besar, dan sangat menakutkan. Nama hantunya Papa.” 

Setelah banyaknya kejadian menyakitkan di Rusun Nero, Ava dan P kemudian melakukan sebuah perjalanan menuju Tanah Lada. Sebuah desa di pesisir Sumatera tempat nenek Ava tinggal, Nenek Isma. Dalam perjalanan tersebut mereka ditemani oleh Mas Alri. Seorang Musisi yang secara misterius tinggal di Rusun Nero kemudian mendidik dan menyayangi P sepenuh hati. Dalam perjalanan tersebut juga mereka berdua menyadari banyak hal mulai dari bagaimana rasanya ingin melindungi orang lain, berdamai dengan masa lalu mereka yang menyesakkan, serta fakta mengejutkan mengenai siapa P sebenarnya. Setelah semua pelajaran yang mereka dapatkan, pada akhir perjalanan sekaligus akhir cerita mereka memilih untuk hidup bersama selamanya mengarungi langit dari dasar lautan dalam. 

Hal menarik dari novel ini adalah bahwa novel ini diceritakan dari sudut pandang seorang anak kecil berusia 6 tahun yang bahkan belum bisa memakan sate sendiri. Novel ini juga menunjukkan kecerdasan lain yang dimiliki seorang anak seperti kecerdasan linguistik yang dimiliki oleh Ava. Pemikiran Ava dan P mengenai sosok ayah juga menjadi poin penting dalam novel ini, di mana berhubungan dengan isu yang menyebar di masyarakat bahwa Indonesia termasuk dalam negara Fatherless Country. Fatherless sendiri dapat diartikan sebagai minimya peran ayah dalam pengasuhan anak baik dari segi fisik ataupun psikologis yang kemudian menyebabkan karakter seorang anak kurang terbentuk dengan baik. Selain itu, plot twist pada akhir cerita juga menunjukkan bahwa keinginan mengakhiri hidup dapat muncul pada siapa saja termasuk anak-anak belia. 

Post Author: pers-upn

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *