Karya : Mujtahiddin Assyiddiecky
Sumber: mdpictures.com
KKN di Desa Penari merupakan film produksi MD Pictures bersama Pichouse Films dengan durasi 130 menit. Film besutan sutradara Awi Suryadi ini mampu menjadi film Indonesia yang mencapai jumlah penonton terbanyak dengan total 9.181.879 penonton hingga tulisan ini dibuat. Bukan tanpa alasan, film yang bersumber dari cerita viral pada akun Twitter @SimpleMan yang menarik minat masyarakat Indonesia sejak awal. Film ini bercerita tentang enam mahasiswa yang melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di sebuah desa yang jauh dari asal mereka. Para mahasiswa tersebut adalah Adinda Thomas (Widya), Tissa Biani (Nur), Achmad Megantara (Bima), Aghniny Haque (Ayu), Fajar Nugra (Wahyu), dan Calvin Jeremy (Anton) yang mengalami kejadian mengerikan di desa tersebut. Mengenai komponen penyusun film, sebenarnya banyak hal yang dapat diulas jika melihat pencapaian luar biasa yang ditorehkan flm ini. Kita akan analisis bagian demi bagian untuk memberikan gambaran mengenai kelebihan dan kekurangan film ini.
Jika ditarik benang merahnya, film ini menceritakan tentang sebuah desa yang memiliki kandungan mistis yang tinggi. Konflik yang timbul adalah ketika dua dari enam mahasiswa yang melakukan KKN melakukan tindakan kurang terpuji sehingga membuat timbulnya permasalahan di luar kendali para pemangku adat di desa tersebut. Ujung dari konflik yang dihadirkan adalah dua mahasiswa tersebut tidak dapat diselamatkan. Selain enam pemeran utama, ada berbagai pemeran pendukung yang membantu menjalankan alur cerita agar dapat dinikmati penonton.
Jika diklasifikasikan, sebetulnya film ini bisa masuk ke film yang memiliki senjata utama di alur yang didukung oleh cerita SimpleMan yang lebih dulu tersebar. Namun, setelah dikonversikan dalam bentuk film justru terasa ada sekat yang cukup besar pada penghubung tiap adegan dalam film. Kita disuguhkan potongan cerita yang dikemas tanpa ada perantara yang membuatnya menjadi utuh. Sepanjang cerita hanya terasa ini adalah visualisasi dari tulisan SimpleMan tanpa ada kejutan yang berarti. Secara pribadi saya berekspektasi lebih terhadap bagaimana film ini mengemas story telling mereka agar menjadi cerita yang memiliki identitas. Hal ini dikarenakan dari judul sudah dapat kita analisis jika kekuatan film ini seharusnya dari kedalaman cerita, bukan subjek yang dominan mengambil kesan horror.
Pada cerita aslinya, SimpleMan membagi sudut pandang menjadi milik Nur dan Widya. Mungkin bentuk filmnya mengadaptasi dua versi menjadi satu kesatuan yang ternyata menjadi rancu dan kurang optimal eksekusinya. Sementara dari penokohan, kehadiran lakon kawakan seperti Kiki Narendra (Pak Prabu), Aulia Sarah (Badarawuhi), dan Diding “Boneng” (Mbah Buyut) membuat cerita ini lebih hidup karena pengalaman dan penghayatan yang tidak perlu diragukan. Sementara itu, dari seluruh mahasiswa KKN, saya tidak menangkap sutradara ingin meletakkan Anton untuk role seperti apa. Keberadaan Anton kurang terasa dan porsinya bisa dibilang kurang jika dibanding pemeran utama lainnya. Apresiasi khusus bagi Fajar Nugra yang mampu memerankan Wahyu dengan sangat baik. Wahyu mengambil alih bagian jenaka dalam film ini yang membuat warna tersendiri. Komedi sketsa dengan teknik one liner yang khas menjadi implementasi Fajar Nugra yang memang berasal dari dunia Stand Up Comedy.
Beralih ke videografi dan pengaturan latar yang mengagumkan tersaji mulai awal cerita. Bagaimana film ini memperkenalkan latar tempat mereka dengan balutan videografi yang berkualitas tinggi. Banyak yang menganggap komponen tersebut menjadi salah satu yang terbaik di penggarapan film Indonesia. Latar suasana juga terbangun dengan baik akibat dekorasi dan properti yang disiapkan dengan baik dan terasa cukup natural. Keseriusan untuk menjadikan film terlihat nyata patut mendapatkan apresiasi yang tinggi.
Jika bicara kekurangan, menurut saya ada beberapa adegan yang terasa ganjil dan mungkin bisa dieksekusi lebih baik lagi. Pertama adegan Nur dan Widya mandi, keduanya bergantian dengan kisah sama yang cenderung membosankan. Lalu, ketika Mbah Buyut berubah menjadi Anjing saya cukup kaget dan merasa bahwa adegan tersebut mengubah pandangan saya terhadap pemeran tersebut sejak awal film. Terakhir adalah rentetan cerita antara Ayu dan Bima yang sebenarnya adalah sumbu untuk mengantar kita pada konflik film ini. Namun, penggambaran cerita yang memuat keduanya terasa sangat kurang dan tidak menjadi highlight cerita. Pada intinya, film ini kesulitan menampakkan pemeran utama untuk menjadi center of attention yang di highlight dan sayangnya alur cerita yang disuguhkan juga gagal menempati posisi tersebut. Jadi horor yang ada tidak terlalu tebal dan penyampaian cerita juga kurang memuaskan.
Film terlaris sepanjang sejarah tentu memiliki berbagai keunggulan, maka kita sampai di poin pembahasan terakhir. Terlepas dari segala keunggulan film, saya menyoroti teknik pemasaran dan promosi menjadi sisi paling dominan. Bisa kita bayangkan, film yang penayangannya sudah ditunda lebih dari satu kali membuat cerita aslinya juga sudah terbuang jauh dari peredaran. Namun, yang terjadi justru ledakan penonton yang luar biasa hingga bioskop penuh oleh penikmat film ini. Pemilihan waktu tayang dan estimasi yang luar biasa dari tim di balik layar film ini. Keteraturan media sosial baik dari akun resmi film hingga seluruh individu yang terlibat untuk melakukan update penonton diselingi hal persuasif lain menjadi salah satu kunci suksesnya film ini. Terakhir, adegan saat Ayu menari di akhir film merupakan bagian terbaik dari keseluruhan scene yang ditampilkan. Aghniny Haque memberikan gestur yang menakjubkan diimbangi dengan mimik wajah penuh penghayatan. Kita bisa merasakan keterpaksaan yang menjadi satu-satunya pilihan yang harus dijalani, penyesalan mendalam tergambar jelas menjadi implikasi adegan ini. Secara keseluruhan, film ini menjadi gebrakan baru yang wajib dinikmati dan diletakkan di daftar rekomendasi.