Laut Bercerita, Sejarah Rezim Antikritik Dibalut Romansa dan Elegi yang Estetik

Karya : Mujtahiddin Assyiddiecky

Sumber: goodreads.com

 

Satu gelas kopi susu dan setengah botol  minuman bersoda menemani saya melahap 394 halaman dengan nyawa di tiap lembarnya. Laut bercerita, novel karya Leila S. Chudori yang diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia, karya dengan penyampaian elegan dan teknik penulisan tingkat tinggi. Jika harus menceritakan secara runtut, rasanya akan menghilangkan jati diri ceritanya yang disajikan dengan lintas waktu secara bergantian dan tetap rasional. Mengusung jenis cerita sejarah fiksi yang memilih gejolak perjuangan mahasiswa di era orde baru sebagai sampul utamanya. Disampaikan dalam dua sudut subjektif tokoh yang menjadi pemeran utama dalam cerita. Laut dan Mara memberikan pandangan masing-masing tanpa retorika klasik karena berada pada rentang waktu yang berbeda. Secara detail, resensi akan disajikan dalam beberapa alinea dengan induk atau anak pembahasan di setiap awalnya.

Kita mulai dari ringkasan cerita yang akan diulas sepadat mungkin. Novel ini bercerita tentang Laut, mahasiswa yang memperjuangkan keadilan dan demokrasi di era orde baru sebagai hidangan utama. Selain itu, banyak kudapan yang ikut hadir menemani seperti kehangatan keluarga Laut, lingkaran pertemanan yang multikultural, serta kisah cinta yang sulit ditemukan pada skenario lain. Penulis mampu memberikan takaran yang pas untuk masing-masing bagian agar menyusun keseluruhan isi cerita secara utuh dan saling menghidupkan. Fase kehidupan mulai dari datang, menghilang, hilang, dan kehilangan secara implisit digambarkan dengan berbagai macam cara yang berbeda dan simbolik.

Secara visual, sebetulnya tidak banyak ilustrasi yang bisa diulik dalam novel ini. Namun, setiap yang hadir akan memberikan makna dan mampu bercerita dengan lantang mengenai alasannya dihadirkan dalam naskah. Mengenai kover, terlihat kaki dengan ikatan rantai yang digambarkan berada di dasar laut  menjadi keadaan terakhir Laut setelah dilepaskan dari penyekapan. Letak kaki yang berada cenderung ke sisi kiri menambah gambaran orang yang ditenggelamkan terlihat lebih natural. Lalu, ilustrasi pembuka bagian satu yang diisi kepala dengan mata tertutup kain lalu dikelilingi kepalan tangan dan sepatu. Sederhana memang, tetapi cukup menggambarkan penyiksaan yang dialami Laut dan rekannya.

Beralih ke latar dan penghidupannya. Dari sudut waktu, secara keseluruhan novel ini dihidupkan pada tahun 1991-2007 sesuai urutan pada daftar isi. Secara tempat, ada beberapa yang disorot dengan dominan seperti Seyegan, Blangguan, Bungurasih, hingga Ciputat yang merupakan kediaman Laut. Cara penulis menggambarkan bagaimana keadaan Seyegan dengan jeratan hantunya hingga deskripsi pasir putih ketika transit terasa dekat dan mudah dibayangkan. Latar suasana, tentu saja campur aduk tidak karuan. Kasmaran melihat Laut dan Anjani hingga trauma setengah mati membaca proses penyiksaan yang dilakukan Pasukan Elang.

Penokohan akan diberi porsi lebih banyak sebagai apresiasi terhadap penulis untuk memberi nyawa yang terasa pada masing-masingnya. Laut Biru Wibisono (Laut) dan Asmara Jati (Mara) menjadi dua tokoh paling sentral pada cerita ini. Kakak dan adik yang diberi kepercayaan oleh penulis untuk membagi buku dalam dua sudut pandang mereka. Alih-alih menceritakan sebuah hal yang sama dengan perspektif lain, dua bagian novel ini justru berisi dua hal yang sangat berbeda. Laut dengan sebab dan berbagai permasalahannya, sedangkan Mara dengan berbagai pemikiran dan proses penyelesaian masalah kakaknya. Keduanya diletakkan dalam keluarga harmonis yang diisi oleh ibu yang sejak awal khawatir dengan aktivitas Laut dan bapak yang menyangkal kematian Laut dengan menyediakan piring makan untuk menyambut kepulangannya di setiap akhir pekan. Leila S.Chudori memberikan karakter yang kuat dengan ekspresif untuk menyampaikan maksudnya pada seluruh pembaca.

Penghidupan karakter pendukung juga tidak kalah ciamik dihadirkan penulis pada cerita ini. Mas Gala yang berkali-kali disebut Sang Penyair, Bram dengan kemampuan berpikir tingkat tinggi, hingga Kinan yang dijuluki Laut sebagai pengambil keputusan. Alex menjadi lelaki Flores bersuara merdu dengan alis tebal yang menaklukan hati Asmara Jati. Daniel dengan keribetannya dan Sunu yang terlihat lebih sederhana dibandingkan yang lainnya. Alex, Daniel, dan Sunu merupakan sahabat yang dikisahkan Laut memiliki kedekatan emosional dengannya. Sementara itu, pada bagian kedua cerita, muncul Aswin sebagai tokoh yang digambarkan peduli dan memimpin sebuah lembaga yang mengusut hilangnya Laut dan lainnya. Karakter yang disuntikkan pada kerabat dari korban lainnya mulai dari Bu Arum hingga Mbak Yun juga terasa sangat hidup, walaupun porsinya lebih sedikit. Terakhir, ada Anjani yang menjadi sosok kekasih Laut yang entah apakah bisa ditemukan atau tidak secara nyata. Gambaran Anjani akan membuat seluruh laki-laki yang menjadi kekasihnya akan merasa sangat beruntung. Harusnya, dari kekaguman saya bisa diterka seistimewa apa Anjani dalam kisah ini. 

Alur yang dipilih sepanjang naskah adalah alur campuran dengan sudut pandang orang pertama sebagai pelaku utama. Namun, Leila S. Chudori sekali lagi melahirkan karya yang fantastis. Segala narasi dan dialog dalam cerita mampu mengemas jawaban tentang mengapa harus ada alur yang mundur dengan penjelasan yang rasional. Mengenai plot twist, Naratama adalah pembelokan alur paling tidak terduga. Kecuali Kinan, seluruh tokoh sentral menaruh curiga pada Naratama yang dianggap agen ganda atau pengkhianat. Ternyata, Gusti adalah bajingan yang dicari dari awal. Sebenarnya penulis sudah memberikan pertanda melalui blitz kamera saat penyiksaan, sebelum secara gamblang mempertemukan Laut dan Gusti di markas Pasukan Elang. Sekali lagi, siapa sangka Gusti yang dari awal berkontribusi besar untuk perlawanan adalah jalang paling kejam di antara mereka.

Beranjak pada kelemahan novel ini, ada beberapa poin yang perlu diulas, walaupun sebetulnya tidak terlalu mengganggu. Beberapa bahasa daerah yang ditampilkan Alex hingga keluarga Laut sedikit memberi kebingungan bagi pembaca yang sama sekali tidak mengenal bahasa tersebut. Genre historical fiction memang sulit untuk dibaca dengan santai, selalu menguras fokus, pemikiran, dan diberi bonus air mata kali ini. Satu-satunya hal yang saya anggap menjadi titik lemah adalah penjelasan mengenai Gusti yang sangat abu-abu. Padahal hingga akhir cerita, Gusti satu-satunya tokoh yang paling saya ingin untuk diulas lebih jauh. Wajar saja, manusia busuk ini adalah sumber penderitaan yang berkelanjutan dalam kisah ini.

Jika membahas kelebihan, rasanya tidak akan cukup jika dibahas satu per satu. Penulisan dengan teknik yang mengagumkan secara kaidah serta ditunjang dengan showing dan telling yang memiliki porsi seimbang. Penulis memberikan simbolik yang kuat di berbagai hal, mulai dari tengkleng buatan ibu, blitz kamera Gusti, sorot mata Asmara, hingga gigi mentimun Anjani terasa sangat hidup dan bisa bercerita di beberapa adegan yang dikisahkan. Diksi yang dipilih terasa seperti pisau yang siap menyayat tiap perasaan pembaca. Belum lagi kombinasi majas dan imajinya yang berperan seperti garam di atas luka sayatan tadi. Penggambaran penyangkalan dan rasa sakit yang dialami keluarga korban ditampilkan dengan sangat menarik, tetapi mampu membuat bulu kuduk kita merinding. Lalu, bagaimana akhirnya kenyataan berkuasa di atas segalanya, penerimaan keluarga atas realita menjadi akhir yang amat manis dari kisah ini.

Untuk menutup resensi, saya akan memberikan pandangan mengenai hal yang paling unik, menarik, dan meninggalkan kesan paling dalam. Tiga srikandi paling mengagumkan yang dibentuk Laut dalam khayalannya. Kasih Kinanti, Asmara Jati, dan Anjani yang memantik kekagumanku dari sudut pandang yang beragam. Kasih Kinanti menjadi perempuan paling dicari oleh aparat karena nyalinya yang lebih besar dari jumlah nyawanya. Kinan merupakan ketua dari perkumpulan terlarang yang biasa disebut Winatra. Laut biasa menyebutnya “Sang Pengambil Keputusan” dan gerakan rekan-rekannya sangat bergantung pada keputusan yang Kinan ambil. Lalu ada Asmara Jati, adik kesayangan Laut yang memiliki pola pikir berlawanan dengan kakaknya. Mara menjadi perempuan rasional yang tidak begitu peduli dengan keadaan politik, tetapi segalanya berubah semenjak Laut dinyatakan hilang. Mara menunjukkan bagaimana kekuatan batinnya menahan gejolak untuk tetap waras di antara guncangan yang begitu hebat, kakaknya hilang, orang tuanya hidup dalam penyangkalan, belum lagi kesedihan luar biasa yang belum sempat ia ceritakan secara terus terang. Menurut saya, Asmara Jati menjadi tokoh paling tegar dalam kisah ini. Terakhir, adalah Anjani, kekasih cantik Biru Laut. Jani menjadi versi yang sangat kontras setelah kehilangan Laut. Gadis cantik periang mendadak hilang menjadi gadis tanpa arah tujuan. Kehilangan yang ditunjukkan Jani terasa paling sederhana penggambarannya, tetapi justru memiliki makna paling dalam di antara yang lain. Semoga ketiganya baik-baik saja dalam keadaan apapun kini. Seperti kutipan favorit Laut dari tulisan Mas Gala, “Matilah engkau mati. Kau akan lahir berkali-kali.”

Post Author: pers-upn

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *