Karya : Mujtahiddin Assyiddiecky
Ilustrasi by : UK Persma
Merdeka secara bahasa dapat diartikan bebas dan berdiri sendiri. Secara subjektif, Indonesia dan seluruh rakyatnya telah merdeka dan berdaulat. Namun, jika ditilik dari komponen dan indikator lain yang lebih objektif, bisa dikatakan kita belum menjadi manusia yang merdeka. Secara garis besar dapat diambil dari sampel penegakan HAM dan implementasi keadilan di negeri kita tercinta. HAM dan keadilan menjadi dua angan yang ingin diwujudkan oleh seluruh negara yang telah dinyatakan merdeka. Lantas, di mana arti sebuah kemerdekaan bagi rakyat yang tidak merdeka secara utuh?
Kemerdekaan di tengah pandemi mempersulit penyetaraan kesejahteraan di Indonesia. Banyak kebijakan baru diambil untuk menyikapi hal abnormal yang datang secara masif dan tiba-tiba. Negara menjadi payung bagi seluruh rakyatnya saat hujan tiba ketika seluruh individu dalam keadaan rapuh dan tidak siap. Tentu setiap kebijakan baru menimbulkan banyak perbedaan dalam proses implementasinya, mulai dari pendapat yang tidak seragam serta kepatuhan yang tidak selaras dengan tujuan diberlakukannya sebuah hal baru.
Keadaan pandemi memaksa seluruh tataran masyarakat kehilangan beberapa hak pokok dalam hidupnya, mulai dari proletar hingga borjuis secara serentak mendapatkan gilirannya. Hak asasi manusia timbul dari keresahan atas keserakahan satu dan banyak pihak yang membatasi gerak dan kebebasan manusia. Namun, hak asasi manusia dapat diberlakukan secara umum di keadaan lazim yang menjadikan manusia mendapatkan haknya secara utuh. Dalam keadaan pandemi, pihak yang berwenang harusnya memberi dan memberlakukan hak asasi manusia yang dinamis, tetapi tetap dalam koridor kritis dan demokratis.
Ada satu kemerdekaan yang seharusnya masih dapat diakses secara penuh, walaupun Indonesia berada dalam pandemi. Hal tersebut adalah kemerdekaan berpendapat, tetapi ironisnya malah menjadi sesuatu yang sulit diwujudkan. Hak untuk menyampaikan pendapat di depan publik menjadi salah satu hal yang sangat diredam oleh pemerintah. Sebagai seorang manusia merdeka, aspirasi merupakan makanan sehari-hari yang harus dikunyah dan ditelan hingga habis. Proses penyampaian pendapat yang dikebiri, asumsi yang didengarkan setengah hati, hingga proses pengambilan keputusan secara sepihak membuat hak asasi dalam berpendapat menjadi tidak ada nilainya. Padahal, perbedaan pendapat membuat keputusan yang diambil lebih akurat dan berlaku secara menyeluruh jika diterapkan sesuai dengan porsinya.
Jangan salahkan warga negara yang tidak berperan aktif dalam proses jajak pendapat untuk kemajuan bangsa, tetapi berkacalah mengenai timbal balik yang didapat setelah sebuah asumsi dilempar ke khalayak secara terang-terangan. Jika yang disampaikan berlawanan atau mengganggu keberadaan pihak tertentu sudah pasti jeruji besi dan hal lain yang seharusnya tidak didapatkan yang akan dipetik. Mulai pasal-pasal karet yang bisa menangkap siapa saja yang tidak memiliki kuasa hingga tata bahasa yang digunakan untuk menggiring opini publik untuk menyembunyikan fakta yang sesungguhnya. Apalagi di masa pandemi, hampir seluruh orang menggunakan kemerdekaan untuk mengemukakan pendapat dengan amat kritis. Hal sekecil apapun dapat dicari sebab dan akibat yang akan ditimbulkan. Sudah sepatutnya kita menjadi seseorang yang kritis untuk menyelamatkan bangsa dan negara dari tindak penyelewengan oknum tertentu.
Dalam masa pandemi menuju sebuah krisis yang perlahan mulai terasa dampaknya, hak asasi manusia dalam kesetaraan di mata hukum adalah hal yang paling vital. Hukum yang berkuasa sudah tidak terlihat lagi, yang ada tinggal hukum yang dikuasai oleh pihak yang sedang berkuasa. Strata kehidupan menentukan keberhasilan seseorang menegakkan sebuah hukum. Kacamata hukum yang rabun serta penjeratan pelaku pelanggaran yang timpang menjadi keberagaman yang sudah biasa disaksikan di negeri kita ini. Kelompok membela pihak yang benar ditangkap, distorsi berkeliaran secara bebas, hingga tidak ada rasa takut melakukan tindak pelanggaran hukum bagi mereka yang menguasai hukum. Sejatinya fluktuasi penegakan hukum tidak hadir dari sebuah kesengajaan, setiap orang pasti memiliki kesadaran dan penyesalan saat melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan kebenaran. Namun, adanya kepentingan dalam sebuah golongan atau keterpaksaan untuk mempertahankan sebuah kedudukan menjadi biang keladi dari hal tersebut.
Peran hak asasi manusia harusnya mampu menjadi penengah di tengah krisis dan masalah yang menimpa segala bidang dan seluruh elemen masyarakat. Apalagi yang diharapkan dari penegakan hukum yang tidak dapat bergerak dan bermuara pada sebuah keadilan. Pihak oposisi dianggap seorang lawan, perlawanan regulasi berakibat dipenjarakan, lalu apa arti sebuah kemerdekaan jika keadilan dan demokrasi terus dikurung di balik sebuah kesenjangan.