Delapan Target Luaran Dipatok, Mahasiswa UPNVJT Kritisi Kebijakan KKN 2025

Petisi KKN 2025
Sumber: Dokumentasi Pribadi LPM Pena Merah
Seruan protes terhadap kebijakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) 2025 oleh mahasiswa UPN “Veteran” Jawa Timur mencuat melalui petisi dalam jaringan (daring) yang dirilis pada 5 Juni 2025 silam dan telah ditandatangani lebih dari 2.000 mahasiswa hingga 22 Juni 2025. Petisi tersebut mempersoalkan tingginya beban luaran, minimnya pembiayaan, hingga kurangnya transparansi dari lembaga pelaksana. Mahasiswa diwajibkan menghasilkan delapan luaran dalam 14 hari pelaksanaan KKN, mulai dari artikel jurnal Sinta 5/6 hingga Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan flipbook. Ironisnya, seluruh luaran itu ditargetkan tanpa adanya dukungan pendanaan dari kampus.
Yasser (Hukum/22), salah satu mahasiswa yang ikut menandatangani petisi menjelaskan alasannya mendukung inisiatif tersebut. Menurutnya, delapan luaran yang diwajibkan justru membebani mahasiswa secara finansial karena biaya untuk memprosesnya cukup besar dan ditanggung secara pribadi, sementara tidak ada pemasukan yang diperoleh. Ia juga menyebut bahwa solusi dari universitas untuk meringankan beban tersebut masih belum jelas. “LPPM sempat ingin merekomendasikan jurnal Sinta yang bisa gratis, tapi informasinya sampai sekarang masih simpang siur. Saya sendiri tidak tahu pasti bagaimana kelanjutannya,” ujarnya.
Tidak hanya dari sisi biaya, ia juga menyoroti adanya masalah terkait pendaftaran HKI sebagai salah satu luaran di mana nama dosen harus dicantumkan di urutan nomor satu. “Produk ini akan dihasilkan dari kerja kelompok HKI kami masing-masing setelah KKN terlaksana, tapi yang lebih mengejutkan dan menurut saya tidak etis adalah nama dosen harus dicantumkan di urutan nomor satu,” ungkapnya. Menurut Yasser, hal ini tidak etis dalam etika akademik. Yasser menambahkan jika pihak lembaga tidak dapat mengeluarkan dana setidaknya luaran KKN bisa diringankan.
Kekecewaan juga dilontarkan oleh Yasser yang menilai pihak kampus enggan mendengarkan keluhan dan penolakan yang muncul dari mahasiswa. Ia mengungkapkan pihak universitas terkesan menutup telinga terhadap kritik mahasiswa terkait pelaksanaan KKN. Menurutnya, pembekalan KKN sempat menuai banyak komentar namun tidak direspons oleh pihak Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM). Ia berharap adanya forum audiensi yang melibatkan mahasiswa, LPPM, dan pihak universitas. “Ini program penting di perguruan tinggi, tapi sikap kampus justru terkesan acuh tak acuh,” pungkasnya.
Di sisi lain, Kian (Agroteknologi/21) menilai bahwa kampus tidak cukup hanya menetapkan target, tetapi juga harus hadir sebagai fasilitator secara menyeluruh. Menurutnya, hal ini masih belum tampak dalam pelaksanaan KKN di UPN “Veteran” Jawa Timur. “Pengabdian memang membutuhkan pengorbanan, kalau pengorbanan itu justru membebani mahasiswa dan tidak ada dukungan langsung dari institusi, pengabdian ini bisa bergeser jadi beban,” ujarnya. Ia menegaskan, kampus semestinya tidak hanya menuntut capaian, tetapi juga turut memfasilitasi mahasiswa untuk mencapainya.
Kian menyatakan bahwa minimnya pendanaan dari kampus merupakan isu sensitif yang bahkan sudah terjadi pada KKN tahun sebelumnya. “Kami sebagai mahasiswa diminta hadir sebagai agen perubahan, tetapi bahkan ongkos untuk pengabdian pun terasa berat dan beragam,” keluhnya. Ia menyebut mahasiswa sudah pintar-pintar mengatur dana untuk bisa bertahan 14 hari dengan dana pribadi termasuk mencoba mencari sponsor. Namun, upaya pengajuan proposal sponsorship terkendala waktu yang terbatas, sementara prosesnya sendiri bisa memakan waktu sebulan dan belum tentu disetujui.
Kian juga merasa transparansi dari pihak kampus terkesan misterius. Mahasiswa tidak mengetahui alur dari alokasi dana KKN karena menurutnya kampus tidak berani terus terang terkait alur transparansinya. Namun, berdasarkan pengalamannya pada KKN tahun sebelumnya, memang tidak ada bantuan dari kampus kecuali transportasi dan fasilitas yang ditentukan kampus.
Untuk KKN 2025, Yasser berharap kampus dapat lebih bijak dalam menyikapi persoalan yang muncul dari pelaksanaannya. Ia menyoroti bahwa persoalan finansial adalah hal yang paling umum dalam kehidupan mahasiswa dan seharusnya tidak diabaikan. Ia berharap, jika luaran yang ditetapkan memang diperlukan maka sudah sewajarnya ada dukungan atau keringanan baik dari segi waktu maupun pembiayaan. Ia juga mendorong mahasiswa untuk tetap bersuara dan mengawal kebijakan demi kebaikan bersama.
Zainal Abidin selaku Kepala Pusat Pengabdian Masyarakat dan KKN UPN “Veteran” Jawa Timur, dalam penjelasan yang disampaikan melalui rekaman video pembekalan KKN, menyebut bahwa penetapan delapan luaran didasarkan pada pencapaian Indikator Kinerja Utama (IKU) sebagai standar evaluasi institusi pendidikan tinggi. Luaran seperti publikasi jurnal, pendaftaran HKI, dan inovasi mahasiswa dijelaskan sebagai bagian dari data yang dihimpun program studi dan dilaporkan melalui LPPM.
Upaya untuk memperoleh penjelasan langsung dari pihak LPPM sebelumnya telah dilakukan oleh tim redaksi. Namun, alih-alih melalui dialog terbuka, informasi kemudian disampaikan dalam bentuk siaran satu arah melalui video pembekalan yang dibagikan kepada mahasiswa. Ruang diskusi yang lebih terbuka dan responsif terhadap sorotan mahasiswa pun hingga kini belum tampak difasilitasi. (end/fjr/daa/sfc)