Oleh: Balqis Athifah

Ilustrasi: Masyarakat Berjuang dari Pembungkaman
Sumber: Freepik
Bulan Ramadan adalah bulan yang penuh berkah bagi umat muslim di seluruh dunia. Di Indonesia yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam, menyambut bulan Ramadan dengan sukacita karena bulan ini memberikan nuansa tersendiri. Namun, tahun ini sambutan bulan Ramadan diiringi oleh hal tidak mengenakkan dari situasi sosial Indonesia. Situasi sosial di Indonesia saat ini menunjukkan berbagai dinamika. Kita sebagai bagian dari masyarakat yang hidup dalam tatanan sosial yang lebih besar, perlu melihat lebih jauh ke keadaan bangsa ini.
Situasi sosial Indonesia kini sedang kacau balau. Dimulai dari kebijakan PPN 12%, pendidikan dan kesehatan sebagai prioritas pendukung, program makan bergizi gratis yang tidak layak, hingga muncul kebijakan pemangkasan anggaran pendidikan, tetapi TNI dan Polri malah dipertahankan anggarannya. Kebijakan ini merugikan rakyat lalu menimbulkan demonstrasi besar-besaran. Pada tanggal 17 hingga 20 Februari 2024 gerakan demonstrasi ini bertajuk “Indonesia Gelap” yang dilakukan oleh mahasiswa dan masyarakat sipil di seluruh Indonesia. Negara Indonesia merupakan negara demokratis di mana rakyat seharusnya bisa bebas untuk menyatakan pendapatnya. Hal ini juga diatur dalam Pasal 28E Ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Namun, kenyataannya berbanding terbalik dari pasal yang ada.
Pembungkaman suara adalah isu yang dari dulu tidak kunjung selesai. Hal ini bukan menjadi hal baru lagi, bahkan sudah seperti tradisi yang sudah ada sejak dulu. Seharusnya kebebasan berpendapat merupakan hak fundamental bagi warga negara, tetapi pada kenyataannya hak bersuara rakyat selalu dibatasi dengan dalih menjaga ketertiban dan stabilitas nasional. Jika kita melihat sejarah dari masa ke masa, yang berkuasa selalu memiliki cara dalam membungkam suara rakyat, entah secara tersembunyi maupun terang-terangan.
Bukan hanya pembungkaman, suara rakyat juga sering tak didengar. Rakyat seakan-akan sedang berbicara dengan tembok. Hal ini dibuktikan dengan Aksi Kamisan yang sudah dimulai sejak tahun 2007 di mana keluarga korban meminta keadilan dengan menuntut negara untuk menyelesaikan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang sudah 18 tahun belum terselesaikan sesuai dengan asas hukum yang berlaku dan adil. Negara justru terlihat memberlakukan impunitas terhadap para terduga pelaku pelanggar HAM, bahkan beberapa dari mereka masih duduk di kursi pemerintahan.
Di bulan Ramadan ini adalah waktu yang tepat untuk kita mulai berefleksi diri, kita perlu bertanya, “Apakah akan ada waktu untuk bisa bebas berpendapat tanpa dilanda rasa takut?”, “Apakah ada ruang untuk mengkritik tanpa dipenuhi rasa kekhawatiran akan diintimidasi?” atau “Apakah akan ada keadilan bagi mereka yang terus bersuara?”. Karena realitanya pembungkaman suara masih dirasakan oleh rakyat, suara kita masih banyak yang tidak didengar. Aksi kritik terhadap kebijakan pemerintah bisa berujung kepada serangan digital, pembubaran paksa massa aksi menggunakan water canon, bahkan bisa sampai terjadi penangkapan atau penculikan.
Salah satu kasus pembungkaman suara di Indonesia yang baru saja terjadi adalah kasus dari grup musik Sukatani. Beredar video permintaan maaf atas lagu ciptaan mereka yang isinya kritikan terhadap institusi kepolisian Indonesia berjudul “Bayar Bayar Bayar” dengan menunjukkan identitas asli mereka. Kasus ini banyak disorot oleh warga Indonesia, pasalnya setiap tampil di panggung mereka selalu menutup wajah menggunakan topeng. Mereka mengaku mendapatkan intimidasi dan tekanan sebelum akhirnya video permintaan maaf mereka diunggah di media sosial.
Tindakan ini sudah mengabaikan hak-hak rakyat untuk berdemokrasi. Padahal tugas aparat keamanan seharusnya sesuai dengan yang diatur dalam Undang-Undang Pasal 13 UU No. 2 Tahun 2002, yaitu tugas pokok kepolisian adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Ironisnya, hal ini berkebalikan dengan apa yang terjadi. Dalam ajaran islam, umat muslim diajarkan untuk menyelesaikan masalah tanpa kekerasan. Prinsip ini seharusnya bisa menjadi pedoman bagi aparat keamanan dalam menjalankan tugasnya, alih-alih menggunakan tekanan.
Dari kasus grup musik Sukatani menunjukkan bahwa suara rakyat dianggap sebagai perlawanan atau ancaman daripada bentuk demokrasi yang sehat. Padahal jika kita hidup di negara demokratis kita boleh bisa berpendapat, termasuk berpendapat melalui sebuah karya. Kebebasan berpendapat memperkuat partisipasi masyarakat dalam pemerintahan yang pada akhirnya masyarakat merasa dilibatkan dan didengar. Pembungkaman suara ini bukan hanya berdampak pada individu yang menjadi korban, tetapi juga pada masyarakat secara keseluruhan.
Ketika rakyat takut berbicara, tidak akan ada yang berani mengkritik kebijakan yang merugikan mereka. Jika tidak ada yang mengkritik kebijakan, mereka yang di bawah akan semakin di bawah dan tertindas. Sedangkan yang di atas mereka akan sibuk berdansa di atas penderitaan rakyat. Ketika para aktivis dan rakyat yang menuntut keadilan diintimidasi, keadilan menjadi semakin sulit untuk diperjuangkan. Apalagi jika media dibungkam, masyarakat akan kehilangan informasi yang objektif. Hal ini bisa menjadi lingkaran setan yang terus berulang dan jika tidak kita sadari, kita akan semakin terbiasa hidup dalam ketakutan dan kebisuan.
Memasuki bulan Ramadan seharusnya menjadi waktu untuk bermuhasabah diri. Muhasabah diri dianjurkan untuk seluruh umat muslim mengingat dosa-dosa yang telah dilakukan dan meminta ampunan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tak terkecuali pada para penguasa, di bulan Ramadan ini bisa menjadi waktu bagi mereka untuk merefleksikan bagaimana mereka menjalankan tugas. “Apakah rakyat sudah merasa dilibatkan?” “Apa yang rakyat inginkan?” Pertanyaan-pertanyaan itu seharusnya yang masuk di dalam benak mereka.
Di bulan Ramadan ini kita sebagai rakyat juga harus berefleksi diri, “Apakah kita akan terus berdiam diri di situasi sosial Indonesia saat ini?”. Kita mungkin tidak memiliki kekuasaan dan kekuatan untuk mengubah sistem yang sudah mengakar ini. Namun, perubahan dimulai dari kesadaran kita sendiri. Berbicara adalah langkah berikutnya. Kita bisa saling bekerja sama untuk tidak menormalisasi aksi pembungkaman suara rakyat. Kita juga bisa memberikan dukungan kepada mereka yang berani berbicara. Mari kita manfaatkan bulan Ramadan untuk lebih peka terhadap kaum yang tertindas, mari kita gunakan suara kita untuk membela mereka yang suaranya dipaksa untuk diam.