Oleh : Aushaf Salsacita Anwarismail
Aksi oleh Mahasiswa
Sumber: Freepik
Berapa kali demokrasi terhitung semenjak negara ini merdeka, berapa kali revolusi yang terjadi, dan berapa kali rakyat berteriak menuntut kemerdekaan pada negara yang telah merdeka ini? Sejak Demokrasi Parlementer lalu Demokrasi Reformasi 1998 hingga sekarang, rakyat tak lagi berperang melawan penjajah. Belanda telah diusir, Jepang mengibarkan bendera putih, namun ironisnya rakyat masih berperang melawan penjajahan atas demokrasi negara.
Dilihat dari indeks demokrasi 2021 yang menunjukkan bahwa Indonesia kini termasuk dalam kategori “flawed democracy” menurut The Economist Intelligence Unit (EIU). Hal ini memperlihatkan wajah sebenarnya dari makna demokrasi yang telah disalahgunakan sebagai simbol kekuasaan. Bahkan dalam lima tahun terakhir kondisi politik kita kembali diacak-acak oleh tangan elite, mendorong warga menjadi demonstran yang menuntut perubahan kebijakan. Para demonstran ini membuat aksi sebagai bentuk penyampaian kritik dan keluhan terhadap sistematika pemerintahan yang kini kian tercemar.
Disaat memburuknya situasi politik saat ini, selalu ada saja aktivis mahasiswa yang mendorong kekuatan demokrasi di saat-saat kritis. Sejarah Indonesia sendiri menjadi saksi atas kekuatan yang diwakilkan oleh para mahasiswa dalam mengetuk pintu demokrasi dan mendorong perubahan politik. Posisi mahasiswa pun kini dapat terbilang cukup strategis. Sebagai intelektual muda, mahasiswa dapat mempengaruhi opini publik dan mengguncang kebijakan pemerintah. Tetap saja dalam konteks demokrasi, penting bagi mahasiswa untuk mengetahui tujuan dan fungsi demokrasi itu sendiri sebelum menyampaikan kritik.
Di sisi lain, mahasiswa terkadang dihadapkan pada situasi canggung. Sering kali peran mahasiswa dalam demokrasi terjebak pada politisi dan kelompok tertentu. Hal tersebut tentu saja mengurangi efektivitas mahasiswa dalam upayanya untuk mengetuk pintu demokrasi. Dalam beberapa kasus, mahasiswa terlalu terikat pada partai politik atau kelompok tertentu. Menjadikan gerakan demokrasi yang diwakilkan mahasiswa menjadi tidak lagi murni atas nama rakyat untuk rakyat.
Dalam situasi demokrasi penting bagi mahasiswa untuk paham betul di sisi mana tujuan mereka berada. Mahasiswa merupakan garda terdepan dalam situasi demokrasi. Jika garda terdepan tersebut mengetuk pintu demokrasi yang salah, maka masa depan demokrasi di negara ini masih patut dipertanyakan. Maka dari itu mahasiswa serta aktivis harus mengerti pintu demokrasi mana yang harus mereka ketuk dan berdiri.
Salah satu kasus di mana mahasiswa serta aktivis berdiri dan berjuang untuk mengetuk pintu demokrasi negara ini adalah pada kasus disahkannya Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 5 Oktober 2020 lalu. Aksi demonstrasi ini didasari pada ketidakpuasan rakyat terhadap pasal-pasal yang dianggap merugikan masyarakat. Situasi kacau tersebut mendorong mahasiswa serta aktivis menggelar demonstrasi karena sejak awal, pemerintah dan DPR terkesan menutup-nutupi isi undang-undang tersebut dan masyarakat tidak pernah dilibatkan dalam prosesnya. Selain itu, aparat kepolisian yang menjadi tangan kanan pemerintahan dalam mengaduk kekacauan juga membuat pecahnya api pada demonstrasi tersebut. Putusan tersebut tak hanya membuktikan bahwa politik negara ini telah diacak-acak oleh tangan elite, tetapi juga membuktikan adanya pelanggaran terhadap asas keterbukaan dan asas partisipasi publik.
Kasus Omnibus Law bukanlah yang pertama dan terakhir dimana mahasiswa dan aktivis menjadi garda depan dan terus berusaha untuk mengetuk pintu menuntut demokrasi. Pada 20 Oktober 2023 lalu, Mahkamah Konstitusi kembali memunculkan kontroversi terkait putusan baru usia minimal calon presiden. Mahasiswa serta aktivis dari berbagai instansi Bersatu untuk mengecam putusan yang menimbulkan pertanyaan terkait kelayakan demokrasi di negara ini.
Isu-isu demokrasi tidak akan pernah berakhir jika politik di negara ini masih terus terus rentan diacak-acak oleh kepentingan elite. Bahkan Aspinall dan Mietzner menyebutkan, Indonesia tidak (lagi) damai sepenuhnya. Sebaliknya, ia menentang menjadi semacam bentuk pemerintahan demokratis yang tidak liberal atau bahkan demokrasi yang cacat.
Sungguh ironis melihat penurunan demokrasi yang dapat dilihat oleh mata telanjang sejak beberapa tahun periode ini. Kebebasan demokrasi saat ini penuh dengan celah karena lubang dalam polik. Hal tersebut yang membuat aksi demonstrasi yang menuntut kebebasan berpendapat serta transparansi dari pemerintah. Jika demokrasi terus berongga dan digerogoti dari dalam, maka jangan kaget jika masa depan kita menyaksikan bagaimana negara perlahan melemah.
Para mahasiswa dan aktivis ini sebagai garda terdepan harus senatiasa mengawal dan menjaga pintu demokrasi negara ini. Melalui penjagaan yang berdedikasi dalam upaya mahasiswa dan aktivis, diharapkan pintu demokrasi negara ini yang semula tertutup dan tergerogoti dari dalam dapat terbuka dan mendengarkan keadilan bagi masyarakat.
Hal ini menjadi bukti bahwa mahasiswa serta aktivis memegang peran kunci dalam kesuksesan demokrasi di Indonesia. Tingkat keefektifan pemerintah dalam mengurus tata kelola negara demokrasi kian lama kian melemah sehingga menyebabkan masyarakat terutama mahasiswa turun tangan untuk menuntut demokrasi yang adil tanpa ada campur tangan atas kepentingan suatu kelompok pribadi.
Peran mahasiswa adalah sebagai wakil bagi suara rakyat untuk mengetuk pintu demokrasi yang tertutup ini. Dengan teguh berdiri di sisi rakyat, kita semua harus melindungi kemurnian demokrasi dan menjaga semangat perubahan menuju Indonesia dengan pintu demokrasi yang terbuka menyambut negara yang adil dan demokratis.