Evaluasi Tahunan jadi Kunci Perbaikan KKN Kolaboratif Di Masa Depan
Pelaksanaan KKN Kolaboratif di Jember
Sumber: Instagram @kknkolaboratif_021
Pelaksanaan Kuliah Kerja Nyata (KKN) UPN “Veteran” Jawa Timur telah terlaksana namun, dalam pelaksanaannya terdapat tantangan dan kendala khususnya terkait dengan KKN Kolaboratif. Melibatkan 4 perguruan tinggi negeri dan 12 perguruan tinggi swasta yang dilaksanakan di kota Jember, dengan kontribusi kurang lebih 200 mahasiswa dari UPNVJT yang terlibat dalam KKN Kolaboratif tahun ini menunjukkan adanya peningkatan dari tahun sebelumnya. Hal ini tentu memerlukan koordinasi yang kuat agar dapat berjalan dengan baik salah satunya pembekalan yang dilakukan sebelum melaksanakan KKN ini.
Pada kenyataan ada tantangan tersendiri dalam melakukan pembekalan karena hal ini melibatkan banyak pihak terkait. Zainal Abidin Ahmad selaku Kepala Pusat Pengabdian Masyarakat dan KKN dari UPNVJT menjelaskan bahwa program ini melibatkan kolaborasi antara dosen pembimbing lapangan (DPL) dan mahasiswa dari berbagai universitas. Pembekalan dilakukan dalam 2 tahap yakni untuk DPL dan Mahasiswa “Tahap pertama adalah pembekalan diberikan kepada DPL dan dilaksanakan di Kabupaten Jember, tepatnya di kantor Dinas Pendidikan Kabupaten Jember. Tahap kedua adalah pembekalan yang ditujukan kepada para mahasiswa dan dilaksanakan di masing-masing perguruan tinggi. Materi pembekalan secara umum disiapkan oleh panitia pusat “ jelasnya. Ia juga menekankan bahwa pihak kampus sudah melakukan tahapan-tahapan pembekalan dengan baik.
Meskipun memiliki nilai konversi SKS yang sama, durasi pelaksanaan KKN Kolaboratif dan KKN Bela Negara berbeda , Zainal menegaskan KKN Kolaboratif bukan merupakan konversi, melainkan mata kuliah yang memang ditentukan berdasarkan Jam Kerja Efektif Mahasiswa (JKEM). “Untuk KKN 2 SKS, JKEM-nya adalah 90,67 jam. Sehingga, apabila dilaksanakan dengan padat karya—misalnya, satu kelompok terdiri 15-20 orang—idealnya KKN 2 SKS ini bisa berdurasi lima pekan,” jelasnya. Pertimbangan durasi tersebut memperhatikan adanya target kerja, luaran, dan jumlah SDM yang terlibat dalam pelaksanaan yang menyebabkan adanya perbedaan durasi lamanya pelaksanaan KKN. Ia juga menambahkan bahwa rata-rata pelaksanaan KKN di UPN membutuhkan enam pekan, terhitung sejak awal hingga laporan luaran selesai.
Selama pelaksanaan program KKN Kolaboratif, mahasiswa menghadapi berbagai kendala dan tantangan. Naya (FISIP/21) mengungkapkan bahwa kendala utama yaitu tugas survei Anak Tidak Sekolah (ATS yang tiba-tiba diberikan oleh Person in Charge (PIC) KKN Kolaboratif. Tugas ini merupakan permintaan langsung dari Pemerintah Kabupaten Jember, namun kurangnya komunikasi antara PIC KKN Kolaboratif dan DPL menyebabkan kebingungan bagi mahasiswa. “Dari awal, kami tidak diberitahu mengenai tugas ATS ini. Saat pelepasan di UPN, tidak ada yang menyinggung tentang survei ini. Tiba-tiba, ketika kami diterjunkan, kami diminta untuk melakukan survei ATS,” ujar Naya. Dalam KKN Kolaboratif mahasiswa UPN berpotensi mendapatkan DPL dan PIC yang bukan dosen UPNVJT.
Kendala mengenai kurangnya komunikasi antara PIC KKN Kolaboratif dan DPL juga dirasakan oleh Shanaz (FT/21) meskipun pembekalan yang diberikan dirasa cukup namun untuk informasi lebih lanjut saat dilakukannya kegiatan KKN seperti keberangkatan maupun kepulangan “Kalo untuk pembekalan sih udah cukup, tapi untuk informasi keberlanjutannya itu sangat lambat yang kami dapatkan dari DPL yang ada di kampus. Kaya informasi soal keberangkatan atau kepulangan setelah KKN dan lain lain” katanya. Proses kepulangan mahasiswa memang mengalami beberapa kendala. Meskipun UPNVJT telah menyediakan beberapa opsi transportasi, kuota yang terbatas membuat banyak mahasiswa harus pulang secara mandiri. “UPN memang memberikan uang sebesar Rp 50.000, tetapi harga tiket kereta tetap mahal dan banyak teman-teman yang tidak kebagian kuota bus, sehingga harus pulang sendiri,” kata Naya.
Dalam pandangannya, Shanaz melihat KKN Kolaboratif ini memberikan manfaat besar, terutama dalam memperluas pandangan tentang kondisi masyarakat di berbagai daerah. Namun, dia juga menyampaikan harapan agar di masa depan, pihak kampus lebih memperhatikan aspek informasi dan komunikasi. “Pengumuman harus dipastikan akurat dan DPL harus lebih aktif dalam memberikan informasi, bukan mahasiswa yang harus selalu bertanya dan memastikan terkait informasi yang beredar biar tidak simpang-siur,” pungkasnya. Naya juga menilai seiring berjalannya waktu ia merasakan banyak manfaat dari KKN Kolaboratif ini “Aku jadi bisa berbaur dengan teman-teman kampus lain dan mengenal budaya serta sistem yang ada di kampus mereka. Selain itu, aku juga jadi tahu tradisi-tradisi yang ada di Desa Sumber Rejo, yang masih sangat kental dengan budaya lokalnya.”jelasnya.
Melalui adanya ketidaksempurnaan yang sempat muncul pada pelaksanaan program KKN Kolaboratif, Zainal membahas tentang bagaimana peran lembaga kampus dalam melakukan evaluasi. Ia berharap program tersebut dapat dikembangkan ke daerah lain, dengan rencana untuk memperbaiki pelaksanaan berdasarkan hasil evaluasi tahunan. Lembaga menilai bahwa KKN Kolaboratif yang melibatkan belasan perguruan tinggi dengan jumlah mahasiswa terbesar, yakni 4.001 mahasiswa, memberikan dampak positif bagi perekonomian lokal di Kabupaten Jember. Zainal mengatakan bahwa setiap tahun, LPPM melakukan evaluasi terhadap seluruh program yang direncanakan dan yang telah dilaksanakan, termasuk KKN. “KKN menjadi salah satu program yang kami evaluasi dan setiap hasil evaluasi tentu akan memberikan perbaikan untuk pelaksanaan di tahun berikutnya,” tutupnya. (lng/ian/ar/sa)