Kriminalisasi terhadap Buruh Perempuan Memprakarsai Aksi IWD yang Menuntut Kebebasan Dwi pada 8 Maret 2024 silam

Ingkarnya Perusahaan terhadap Hak Buruh Perempuan dan Kriminalisasi Mereka atas Tuntutan yang Diajukan atas Hak Buruh

Aksi Demonstrasi di Depan Kantor Kejaksaan Negeri Kota Surabaya

Dokumentasi Pribadi LPM Pena Merah

International Women’s Day 2024 harus kembali dirayakan dengan aksi menuntut kebebasan bagi buruh perempuan pada 8 Maret 2024 lalu. Dwi, seorang buruh perempuan di Surabaya harus ditahan atas tindakannya menuntut hak sebagai seorang karyawan pada 5 Maret 2024. Surat penahanan tersebut dikeluarkan oleh Kepolisian Sektor Genteng setelah adanya laporan dari PT. Mentari Nawa atau lebih dikenal dengan Kowloon Palace Surabaya. Dwi dilaporkan atas tuduhan tindak pidana yang diatur dalam pasal 263 KUHP mengenai pemalsuan surat. Tuduhan tersebut dilakukan oleh Perusahaan lantaran Dwi menuntut 3 bulan gajinya yang belum dibayarkan selama bekerja, akte kelahiran yang ditahan serta tidak didaftarkan BPJS ketenagakerjaan sebagai karyawan kontrak bagian accounting di perusahaan tersebut.

Kasus yang saat ini ditangani oleh Lembaga Bantuan Hukum Surabaya ini dianggap sebagai bentuk kriminalisasi karena Dwi dituntut tanpa kronologi yang jelas dari Jaksa Penuntut Umum. LBH sebagai bagian dari kuasa hukum Dwi menyatakan tidak ingin kasus ini dilanjutkan ke persidangan karena kasus tersebut dinilai bias. Kasus yang saat ini menimpa Dwi bahkan tidak dilaporkan oleh perusahaan langsung melainkan oleh orang lain yang bahkan tidak ada kaitannya dengan perusahaan tempat Dwi bekerja. “Untuk proses persidangan kami belum bisa memastikan, namun kami tidak ingin kasus ini dilanjutkan ke proses persidangan karena kasus ini memang sangat bias. Kalau teman-teman membaca di siaran pers itu orang yang melaporkan bukan orang perusahaan. Bu Dwi melawan perusahaan tapi kenapa ada orang lain yang dia sendiri tidak ada kaitannya dengan perusahaan kemudian melaporkan balik Bu Dwi, itu yang bias. Kerugian apa yang dialami oleh Eko selaku pelapor itu? Ini yang menjadi diskusi kami,” jelas Elsa selaku Asisten dari LBH.

Eko selaku pelapor menyatakan bahwa Dwi telah memalsukan surat rekomendasi dari tempat ia bekerja sebelumnya yaitu Rumah Sakit William Booth Surabaya. Surat rekomendasi tersebut berisi bahwa Dwi pernah bekerja sebelumnya di rumah sakit tersebut sebagai staff accounting yang ia gunakan untuk melamar pekerjaan pada Kowloon Palace. Jaksa Penuntut Umum menjelaskan bahwa pihak rumah sakit memang telah mengkonfirmasi bahwa pihaknya tidak pernah memberikan surat rekomendasi kepada Dwi namun menerangkan bahwa Dwi memang pernah bekerja sebagai staff administrasi. Selain itu Jaksa Penuntut Umum juga menjelaskan bahwa terdapat keidentikan tanda tangan pada surat rekomendasi dengan KTP pemberi pernyataan.

Praskila, selaku Ibu Kandung Dwi mengungkapkan bahwa selama ditahan kunjungan terhadap Dwi dibatasi oleh pihak Kejaksaan. Beliau juga menjelaskan bahwa beliaulah yang meminta bantuan kepada LBH pada saat anaknya masih menjadi tahanan luar karena merasa tidak mampu membayar pengacara untuk mengatasi kasus tersebut. Selain hanya bisa mendukung sang anak beliau juga berharap agar sang anak dapat segera dibebaskan. “Kalau memang gajinya tidak dibayarkan ndak papa, tapi tolong bebaskan anak saya. Sudah kami ndak akan menuntut, biarkan saja karena kami tidak bisa membayar pengacara dan kejaksaan terus terang saja, kami orang kecil. Hanya itu saja soalnya kasian anak-anaknya,” terangnya. (ash/nab/ren/sig) 

Post Author: pers-upn

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *