ROMANSA PERS DAN PERGERAKAN PEMUDA

Oleh: Indanaa Zulfaa

Ilustrasi Anak Muda sebagai Jurnalis 

Sumber: Freepik 

Sepanjang perhelatan pemilu 2024, media Indonesia banyak menyaksikan kepada masyarakat Indonesia berbagai dinamika bangsa. Siapa sangka? Seperti dejavu, Indonesia kembali ke tahun 1998 ketika demokrasinya mulai dipertanyakan. Tindak penyimpangan dalam bernegara sudah terendus baunya, hingga deklarasi berkumandang dari berbagai penjuru akademika. Namun, ada yang sedikit berbeda dari sebelum-sebelumnya. Anak muda yang biasa vokal, kini banyak bungkam tak bersuara. Ada apa?

Pekerja media harus menelan kenyataan pahit ini. Berdasarkan data dari Katadata, kepercayaan masyarakat Indonesia pada media massa saat ini hanya mencapai angka 39%, bahkan tak sampai setengah populasi. Sayang sekali, mengingat pers sebagai pendidik, penghibur, sekaligus kontrol sosial adalah peranan yang sangat penting. Terutama pada era krisis informasi seperti ini, sangat disayangkan jika pilar keempat demokrasi malah tidak lebih dipercaya dibandingkan media sosial yang berisi muatan-muatan penuh sangsi.

Kalau menarik ke belakang, kisah cinta antara pers dan pemuda kerap mengisi lembar sejarah kemerdekaan Indonesia. Peristiwa rengasdengklok misalnya, diawali ambisi golongan muda agar negeri ini lekas merdeka, hingga kemudian riak proklamasi menyebar ke penjuru nusantara. Diprakarsai oleh siapa? Bukan lain muda-mudi pewarta pada masanya. Aksi-aksi kritis yang menyentil oligarki juga awalnya dihembus kabarnya oleh media, hingga lalu diambil geraknya oleh mahasiswi-mahasiswa. Cukup jelas, bukan? Bahwa kisah cinta itu ternyata melahirkan sebuah pergerakan nyata.

Namun apalah daya kenyataan hari ini. Telah muncul pihak ketiga yang merebut hati muda-mudi: Beranda TikTok atau yang biasa disebut FYP (For Your Page). Mereka bersama sepanjang hari, bertukar emosi, mengarungi dunia penuh fantasi. Pemuda terlena akan tayangan-tayangan penuh haha-hihi, padahal tak lebih dari sekadar ilusi. Meski pers merasa dikhianati, ia tak begitu saja memilih untuk pergi. Masih ada visi-misi yang perlu diwujudkan untuk negeri ini. Dengan berat hati, akhirnya pers coba memahami tentang FYP ini, hingga media massa mulai berpadu dan menyesuaikan sistem media sosial agar tak begitu saja tersisih.

Sebenarnya kalau mau coba sedikit menganalisa, bukan sepenuhnya salah FYP dan algoritma, bukan salah pemuda, bukan juga salah media. Pola hubungan seperti ini tidak lain tidak bukan karena kemajuan zaman yang memang harus dihadapi bersama. Akan sangat menguras tenaga jika yang dilakukan hanya sebatas terus-menerus saling tunjuk tentang siapa yang salah dan berkhianat. Hingga tepat sudah putusan pemilik media untuk mengawinkan keduanya: FYP dan media massa.

 

Tapi, apakah cukup? Sepertinya tidak. Kalau dibandingkan, media-media terkenal masih kalah pamornya di media sosial dibandingkan influencer-influencer kelas atas. Kalau ditanya tentang berapa banyak pemroduksi informasi terpercaya yang diikuti, jawaban mereka juga tak akan sebanyak following produsen konten gimik dan hiburan. Apakah memang spek literasi yang harusnya dimiliki pemuda, telah tergerus dan tergilas? Ah, jangan lah! Dengan kebodohan, negeri ini tentu akan makin tertindas!

 

Kembali membahas tentang regresi demokrasi, apa hubungannya dengan tulisan sebelumnya tadi? Sering kali saya coba tanyakan kepada teman-teman tentang pandangan mereka soal kondisi politik dalam negeri, dan yang saya dapat tak lebih dari sekadar isu-isu gorengan FYP yang disebar para pendengung politisi. Ini memunculkan ujung benang yang dapat ditarik, bahwa apatisme terhadap demokrasi adalah berasal dari ketidaktahuan akan realitas kondisi negeri saat ini. Bagaimana bisa menciptakan sebuah pergerakan kalau ketidaktahuan masih membenamkan motivasi hingga tak kunjung menghampiri?

 

Kembali ke jalan yang benar, rasanya tak perlu banyak usaha. Awali saja dengan mengikuti di media sosial akun-akun media massa terpercaya. Dengan sajian informasi kritis, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, pikiran akan terbuka dengan sendirinya. Karena secara alamiah, otak manusia memang didesain untuk berpikir ketika dihadapkan dengan suatu wacana. Lalu selanjutnya, memupuk sikap kritis dan analitis terhadap permasalahan bangsa yang tengah melanda.

 

Kini saatnya berhenti berpikir bahwa pemuda adalah anak kecil yang baru bisa mengerti hanya jika materi belajar diisi sambil berjoget dan bernyanyi. Selama masih menyandang gelar warga negara, hidup akan terus diatur oleh pemerintahan negeri. Kembali bersemikan kisah cinta antara pers dan pemuda-pemudi agar bangsa ini tak lagi dipenuhi penjilat yang hanya tau memuji namun membiarkan bangsanya dibeli.

Post Author: pers-upn

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *