Oleh: ‘Indanaa Zulfaa
Ilustrasi: Anak Muda Bersuara
Sumber: Freepik
Visi “Indonesia Emas 2045” belakangan ini tengah digadang-gadang oleh pemerintah Indonesia. Dua puluh tahun bukanlah waktu yang panjang untuk membangun kemajuan peradaban. Pasalnya, hingga kini Indonesia masih memiliki segudang problematika yang harus segera dituntaskan. Sebagai generasi penggerak, pemuda yang jumlahnya mencapai 24 persen populasi penduduk Indonesia (Badan Pusat Statistik, 2022) harusnya berandil besar dalam mentransformasikan Indonesia maju. Namun, bagaimana nasib visi Indonesia tersebut apabila para pemuda hanya memilih untuk diam?
Anak muda terus dipandang sebagai kaum terkuat. Dapat dilihat dari pepatah-pepatah terdahulu, salah satunya dari bapak pendiri bangsa, Ir. Soekarno. Beliau mengatakan bahwa untuk mencabut Gunung Semeru dari akarnya membutuhkan 100 orang tua, sedangkan untuk mengguncang dunia hanyalah memerlukan 10 orang pemuda. Jika memang begitu kenyataannya, mengapa pada zaman sekarang pemuda seakan tidak punya keberanian, bahkan dikebiri haknya untuk menciptakan perubahan?
Terdapat dua jenis gerakan pemuda dalam berkontribusi membangun negeri, yakni secara vertikal dan horizontal. Secara vertikal anak muda menjadi oposisi yang mengkritisi kebijakan serta kinerja pemerintah. Sebagai negara demokratis, sah-sah saja untuk menggunakan hak bersuara terutama untuk kepentingan masyarakat. Masalahnya, hingga kini masih banyak ditemui kasus pembungkaman baik secara nyata maupun maya oleh oknum pemerintah, contohnya penangkapan koordinator lapangan demo dan peretasan akun media sosial. Sedangkan, secara horizontal anak muda dapat membangun secara langsung dengan terjun ke masyarakat. Hal yang dapat dilakukan antara lain bergabung dalam gerakan komunitas sosial, lingkungan, bahkan politik. Selain itu, memaksimalkan potensi diri untuk berkarya dan berprestasi juga termasuk dalam gerakan membangun bangsa.
Tidak ada yang lebih baik dari kedua aksi tersebut. Keduanya sama-sama baik jika dilakukan dengan cara yang tidak melanggar hukum dan norma. Aksi yang tidak lebih baik adalah memilih diam dan acuh terhadap keadaan negeri. Mereka enggan bersuara karena beranggapan bahwa apa pun yang dilakukan pada akhirnya hanya akan menjadi sia-sia karena tidak didengar. Kemudian, mereka yang memilih rebahan santai hanya menyaksikan dari balik layar gawainya sambil berkata “Gak ikut-ikut” tidak sama sekali berkontribusi kecuali menambah angka pengangguran.
Sebenarnya juga tidak salah apabila banyak kaum muda beranggapan bahwa cukup sulit menjadi kontributif karena akan mendapati banyak tantangan ke depannya. Namun, terlepas dari peran anak muda sebagai penggerak perubahan, bukankah hidup memang selalu penuh tantangan? Anggapan “Makin terlibat, makin kena masalah” adalah benar dan memang begitulah seharusnya pemuda. Pemuda harus berani ambil langkah, karena hanya mereka yang segera ‘kedaluwarsa’-lah yang tidak mampu lagi menahan masalah di sekitarnya sehingga memilih untuk tidak terlibat.
Seiring teknologi yang makin canggih, seakan tidak ada lagi hal yang tidak dapat dilakukan hingga segala sesuatu menjadi terasa begitu mudah. Anugerah tersebut seharusnya dapat dimanfaatkan oleh pemuda untuk mewujudkan aksinya dengan menjadi pionir antikorupsi, toleransi, dan partisipasi. Berbagai masalah global bisa saja diselesaikan dengan cara lokal dan kemudian diglobalkan bersama-sama. Menginspirasi, mengajak, menyadarkan, dan memengaruhi orang di sekitar untuk tidak lagi apatis terhadap permasalahan bangsa.
Tidak apa jika hari ini kita masih belum dilihat, didengar, dan dikerdilkan perannya oleh mereka yang berkuasa. Dengan terus bersama mendobrak perubahan, mereka akan segera tergantikan. Kitalah sosok pengganti yang harus siap memerankan peran utama masa depan Indonesia. Teruslah bersuara karena Indonesia Emas 2045 adalah milik kita!