Pengaruh Cawe-Cawe Figur Politik dalam Kemaslahatan Legitimasi Publik

Pernyataan Cawe-Cawe Jokowi dan Deklarasi PDI Perjuangan Memicu Respons Masyaraka

Deklarasi PDIP

Sumber: National.okezone

Dinamika perpolitikan Indonesia sedang hangat diperbincangkan oleh masyarakatnya, mulai dari pergolakan sampai dengan sirkulasi pergantian kekuasaan pemerintahannya dan salah satunya yang begitu diperebutkan yaitu pemilihan presiden melalui pemilihan umum (Pemilu). Pemilu yang akan dilaksanakan pada tahun 2024 mendapat perhatian dari banyak kalangan. Masyarakat mulai hangat memperbincangkan bakal calon yang akan menduduki kursi nomor satu Republik Indonesia (RI). Tak mau ketinggalan, opini para pembesar negara juga bermunculan dan disoroti banyak pihak seperti Presiden RI saat ini yaitu Jokowi dan Presiden RI ke-5 yaitu Megawati, pasalnya 2 tokoh tersebut memberikan dukungan kepada yang diusungnya secara tersirat maupun tersurat. Perbedaan pendapat antar keduanya memberikan dampak di kancah dunia politik karena kedua figur politik tersebut sama-sama kuat dalam meletakkan pengaruhnya.

Dilansir dari cnbcindonesia.com pernyataan Jokowi terkait cawe-cawe menjadi buah bibir publik dan diperbincangkan oleh berbagai kalangan. Abdullah Fikri selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional ‘Veteran’ Jawa Timur berpendapat “Ini belum tentu terjadi, mengingat cawe-cawe seperti apa yang dilakukan oleh presiden. Presiden cawe-cawe dalam konteks politik praktis ataukah cawe-cawe untuk menyelenggarakan atau mewujudkan penyelenggaraan Pemilu yang aman dan hikmat,” tutur Fikri. Dia menambahkan ketika cawe-cawe nya Presiden Jokowi ini sebagai insan politik maka dirasa kurang tepat. Tetapi kalau memang cawe-cawenya Jokowi sebagai kepala pemerintahan dalam hal ini untuk mendukung suksesnya Pemilu 2024 dalam arti penyelenggaraannya, maka itu sah-sah saja.

Cawe-cawe dalam perpolitikan harus dilakukan dengan berbeda antara sebagai Presiden Jokowi dan Politikus Jokowi. Sebagai seorang presiden tentu saja Jokowi tidak boleh mendukung salah satu calon atau kandidat saja, tetapi berbeda jika secara pribadi. Hal ini perlu dibedakan dan dipahami batas-batas yang mengaturnya. “Tidak ada hukum yang mengatur boleh atau tidaknya presiden cawe-cawe. Itu semata-mata pada tataran etika berpolitik dan juga etika dalam bernegara sebagai presiden, semacam itu,” tutur Fikri. Dalam salah satu pidatonya, Jokowi mengatakan bahwa setelah ini jatahnya Prabowo, secara tidak langsung Jokowi memberikan dukungannya pada Prabowo. Di sisi yang lain, Megawati mengumumkan melalui Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mendeklarasikan Ganjar Pranowo sebagai bakal calon presiden.

Kontradiksi pendapat antar figur politik mengenai bakal calon presiden adalah hal yang tentunya lumrah. Menurut Moch. Rozzaq (FISIP/21) perbedaan pendapat yang muncul pada Pemilu tahun 2024 ini adalah suatu strategi politik yang dimainkan PDIP melalui Jokowi. “Strategi politik PDI Perjuangan dititipkan pada Jokowi untuk menaikkan hasrat Prabowo menjadi calon presiden lagi dan kemudian menyusun sebuah strategi menemukan titik momentum pas bagi PDIP mendeklarasikan Ganjar Pranowo,” tutur Rozzaq. Di saat yang sama Jokowi ikut serta dalam deklarasi tersebut, kemudian publik berasumsi bahwa sudah ada perpindahan kopiah atau jabatan yang seratus persen Jokowi memberikan dukungannya kepada Ganjar sebagai bakal calon presiden.

Di sisi lain, etika dan perilaku berpolitik dapat memengaruhi legitimasi dan kepercayaan publik terhadap figur politik dalam Pemilu serta polarisasi dan perbedaan pendapat antara figur politik sebenarnya tidak keseluruhan bisa mempengaruhi perilaku politik masyarakat. Etika dalam berpolitik ini seperti pemberian opsi atau pilihan yang variabelnya banyak sehingga individu atau masyarakat memiliki hak secara penuh untuk memilih opsi tersebut. Hal ini menjadi penting karena preferensi memilih masyarakat secara langsung maupun tidak menentukan hasil Pemilu mendatang. “Masyarakat yang memiliki perilaku politik yang rasional maka preferensi tokoh terhadap calon tertentu bisa jadi terminimalisir. Tetapi ketika perilaku politik masyarakat yang belum rasional secara penuh maka preferensi seorang figur itu akan mempengaruhi preferensi daripada masyarakat itu,” tutur Fikri. 

Pemimpin di masa depan tidak terlepas dari figur seperti apa yang kita pilih hari ini. Sebagai figur politik yang diikat dengan dua hal, yaitu kebijakan politik atau berpolitik yang bijak, dia harus bisa menempatkan diri. Menurut Rozzaq figur politik bisa memilih berpolitik dengan bijak. “Ketika nanti kita mahasiswa yang berpolitik ya kita memainkan politik kita, selesai kita berpolitik ya kita sebagai mahasiswa aktif yang menjalankan semua mata kuliah. Ada pembatasan ruang lah antara kita sebagai warga negara dan juga warga negara yang berpolitik,” tambah Rozzaq. Namun, menurut Fikri antara keduanya itu adalah dua sisi yang berbeda. Kebijakan politik ini berkaitan dengan bagaimana para insan politik ini melakukan yang namanya strategi-strategi politik praktisnya. “Antara kebijakan politik atau berpolitik yang bijak itu suatu hal yang saya rasa bisa dibangun dalam satu frame yang bersamaan,” tutur Fikri. 

Kebijakan politik berbasis pada berpolitik yang bijak bisa menghasilkan kebijakan politik yang maslahat untuk masyarakat banyak, tetapi kebijakan politik yang tidak berbasis pada politik yang bijak, maka tidak akan menghasilkan kebijakan politik yang maslahat bagi masyarakat. Kemaslahatan pada Pemilu mendatang bisa didapat ketika tiap-tiap warga negara bisa berpikir dengan bijak dan tidak terbawa arus serta bisa memilih pemimpin yang amanah. Masyarakat harus bisa melihat apakah figur politik ini sudah layak jika dijadikan sebagai pemimpin, dan apakah figur ini juga telah berpolitik secara bijak. Partisipasi publik dalam Pemilu sangat menentukan masa depan Indonesia dan dinamika politik yang akan terjadi selanjutnya. (ann/ryu)

 

Post Author: pers-upn

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *