Oleh: Enzelica Vica
Sumber: voi.id
Hari Kartini yang diperingati setiap tanggal 21 April menjadi pengingat bagi para perempuan Indonesia bahwa kebebasan yang dirasakan sekarang berawal dari kesadaran seorang perempuan Indonesia akan “kekangan” di zamannya. Begitu banyak keterbatasan yang mempengaruhi kebebasan perempuan saat itu, yang mana perempuan berada dalam posisi nomor dua dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini yang seolah menjadi takdir bagi perempuan untuk tunduk di bawah kekuasaan laki-laki. Tidak mendapat pendidikan dan harus tinggal di rumah sampai “dipingit” menjadi tradisi yang berkembang di masa itu. Mengapa? Karena itulah yang dipandang baik di zamannya.
Sikap kritis Kartini terhadap perubahan sudah tampak sejak usia enam setengah tahun. Di saat pendidikan dianggap tabu bagi anak perempuan Jawa, ia memilih untuk bersekolah. Walaupun hanya bisa mengenyam pendidikan resmi sampai usia dua belas tahun, tak melunturkan semangatnya untuk tetap belajar. Dari buku, koran, dan majalah ia belajar sendiri tanpa guru. Semakin banyak ia belajar, semakin ia menyadari pula bahwa ada yang salah dan harus dikoreksi.
Tidak mudah untuk menyuarakan hal-hal yang dianggapnya salah, terlebih lagi yang coba ia koreksi adalah budaya dan pemikiran yang sudah lama tertanam di masyarakat. Ditambah dengan keterbatasan untuk menyampaikan pendapat karena perempuan hanya dianggap sebagai pengikut atas keputusan-keputusan yang ditentukan oleh laki-laki. Keterbatasan itu tidak menghalangi semangatnya untuk melakukan perubahan. Melalui tulisan, ia bersuara tentang hal-hal yang salah itu. Memang tampak sederhana, namun dampaknya bisa kita rasakan hingga sekarang. Surat-surat yang ia kirimkan kepada para sahabatnya menjadi bukti kepeduliannya terhadap masa depan perempuan Indonesia. Bukunya yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang” merupakan harapan untuk kehidupan perempuan Indonesia yang lebih baik.
Sekarang, kesenjangan status laki-laki dan perempuan sudah banyak berubah. Perempuan bisa lebih bebas mengekspresikan diri dan menyampaikan suaranya. Bisa kita lihat dari munculnya pemimpin-pemimpin perempuan, salah satunya adalah presiden Indonesia. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa praktik yang menempatkan perempuan di nomor dua masih terus ada. Contohnya adalah pada kasus kekerasan seksual. Siapa yang sering disalahkan dalam kasus ini? Ya, sering sekali masyarakat menyalahkan perempuan dengan alasan baju yang kurang sopan atau tidak berani melawan. Adapun pada kasus perselingkuhan di dalam rumah tangga, lagi-lagi perempuan yang dianggap sebagai penyebabnya. Tanpa disadari ini adalah bentuk diskriminasi seperti yang ada di zaman Kartini. Bentuknya memang beda, tetapi korbannya sama.
Sebagai kartini masa kini, perempuan harus berani buka suara. Apalagi terhadap isu-isu yang seolah mendiskriminasi perempuan. Kita adalah bagian dari masyarakat yang suaranya juga harus didengar. Hal ini dapat kita lakukan dengan lebih menunjukkan diri dan mengambil bagian dalam masyarakat sehingga kesadaran bahwa perempuan itu layak untuk dihargai sama seperti laki-laki tidak pudar. Bersuara tidak melulu tentang ‘berkoar-koar’, sampaikan dengan cara yang baik dan sopan. Media sosial sebagai pengaruh teknologi bisa dimanfaatkan untuk menunjukkan diri dan menyampaikan kritikan.