Penanganan Nasib Petani Pakel Mengecewakan, Demonstrasi Mahasiswa Demi Keadilan Tak Terhindarkan

Pengiringan dan Pengupayaan Keadilan untuk Para Petani Pakel hingga Meraih ‘Kemenangan’

Aksi Demonstrasi Mahasiswa Surabaya Mendukung Keadilan Petani Pakel

Sumber: Dokumentasi Pribadi LPM Pena Merah

Para warga Pakel Banyuwangi telah melakukan reclaiming hak ruang hidup dan tanahnya yang dirampas oleh perusahaan perkebunan swasta PT. BUMI SARI sejak 24 September 2020 lalu, hingga berlanjut tiga warga Pakel ditangkap secara paksa oleh orang tidak dikenal yang diduga sebagai intel Kepolisian daerah (Polda) dan sedikitnya 14 orang menjadi korban kriminalisasi sepanjang 2020-2023. Para warga Pakel telah mengajukan sidang pra-peradilan pada Jumat (10/3/2023), berujung pada penolakan hakim yang bersikukuh bahwa pasal 112 dan 227 berlaku untuk tingkat persidangan, padahal mekanismenya dirasa tidak relevan dengan pengujian penetapan sah atau tidaknya tersangka.

Kasus ini mengundang perhatian hingga terbentuknya dukungan mulai dari mahasiswa Surabaya menggandeng beberapa elemen masyarakat menggelar Aksi Solidaritas Surabaya bersama Pakel seperti Laskar Mahasiswa Republik Indonesia (LAMRI), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH), dan paramedis jalanan, serta elemen-elemen masyarakat lain. Rafi Great Akbar selaku Koordinator Lapangan Massa Aksi dan juga sebagai mahasiswa Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur (UPNVJT) menyerukan pengiringannya demi keadilan para petani Pakel. “Kita masih optimis menang karena PT. BUMISARI yang mau mengambil hak atas tanah warga Pakel itu hanya memiliki Hak Guna Usaha (HGU) setau kami,” tutur Rafi (FH/21). Tindak lanjutnya, mahasiswa Surabaya terus mengawal perkembangan kasus ini, baik di Surabaya maupun Banyuwangi, serta kerap mengkritik tajam atas kebijakan-kebijakan publik yang dikeluarkan oleh pemerintah. Tidak hanya itu, kejadian yang dialami oleh warga Pakel pun tidak luput dari memunculkan sudut pandang lain dari kalangan akademisi. 

Haidar Fari Aditya, selaku Dosen Fakultas Pertanian (FAPERTA) UPNVJT beranggapan bahwa hal ini terjadi akibat kurangnya komunikasi antara warga Pakel dengan pihak PT. BUMISARI. Kualitas pendidikan petani dinilai menjadi salah satu faktor yang mendasari terjadinya kasus seperti ini. “Saya tahu pakel itu kan rata-rata petani yang sudah turun temurun, apalagi lahan-lahan yang di pakel ini memang bermasalah mulai dari tahun 1929 dan hal tersebut dapat terjadi karena kurangnya kualitas pendidikan pada mereka sehingga mereka seperti dijajah sendiri atau dibodohi,” ungkap Fari (15/4). Ia juga menyayangkan kejadian ini dan berharap para mahasiswa FAPERTA turut andil dalam meningkatkan pendidikan para petani di Indonesia, khususnya para petani Pakel. “Saya merasa sedih ternyata masih ada kondisi yang seperti ini. Indonesia kan sudah merdeka, dan ternyata di pakel ini masih ada lahan yang menjadi sengketa mulai dari zaman penjajahan hingga sekarang dan hal tersebut tidak diselesaikan. Pertanian bagi Pakel ini juga sangat krusial dan perekonomian akan terganggu karena sektor pertanian yang paling utama bagi mereka,” tutur Fari (15/4). Beliau menganggap banyaknya ketimpangan yang ada pada kasus ini antara pihak Pakel dan pihak PT. BUMISARI menjadikan banyaknya pula kekeliruan dan kejanggalan yang dialami kedua belah pihak.

Dari segi hukum, kasus ini ditinjau sebagai konflik agraria oleh Eka Nanda Ravizki, selaku Dosen Fakultas Hukum (FH) UPNVJT. Ia beranggapan bahwa terjadi relasi kuasa, yakni pihak yang memiliki sumber daya lebih tinggi lebih berkuasa sehingga masyarakat sering kali dirugikan. Kriminalisasi yang dimaksudkan pada kasus ini perlu ditinjau kembali karena suatu aksi demokrasi tidak dapat dikatakan sebagai kriminalitas selama dalam batas aturan perundang-undangan sehingga menjadi sangat janggal apabila polisi melakukan penangkapan menggunakan pasal 14 KUHP. “Sebenarnya mekanisme penyelesaian konfliknya apabila pengadilan telah mengeluarkan putusan, maka semuanya wajib untuk mentaati,” ujar Eka (17/4) tentang pengimplementasian keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Kasus ini dianggap memiliki dampak terhadap kepercayaan masyarakat, yaitu ketidakadilan akibat relasi kuasa. Namun, tidak perlu dikhawatirkan karena tahapan pra-peradilan hanyalah urusan formal yang belum bisa menentukan kalah atau menangnya suatu pihak atas kasus tersebut. 

Berbagai argumentasi terkait nasib para petani Pakel memang condong terhadap pada suatu pertanyaan “mengapa hal ini bisa terjadi?”, sedangkan pihak pemerintah seolah-olah mengabaikan pertanyaan tersebut dan tetap memberlakukan tindakan yang sangat disayangkan tersebut dan berujunglah pengiringan keadilan oleh beberapa elemen masyarakat terutama mahasiswa Surabaya. Harapan pada kasus ini secara sederhana memang harus ada musyawarah antara keduanya agar cepat terselesaikan. Namun, telah dilakukannya penangkapan pada tiga petani tersebut sudah dirasa sulit untuk musyawarah dan tidak disangkal warga Pakel untuk naik pitam, serta tentunya perlu adanya jalur hukum. Perlu adanya Non-Governmental Organization (NGO) atau LBH memberikan pendampingan langsung kepada masyarakat supaya masyarakat mempunyai kepastian hukum, dan seharusnya pihak yang paling bertanggung jawab untuk dapat berdiri ditengah sebelum masuk ke ranah hukum adalah pemerintah. (ant/ila)

Post Author: pers-upn

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *