Perempuan dan Perjuangan

Oleh : Rafilah M.

Ilustrasi: Perayaan Internationals Woman’s Day (frz)

Hari Perempuan Internasional diperingati kembali pada 8 Maret 2023 sebagai bentuk perayaan atas prestasi dari perempuan, serta untuk mengingat kembali perjuangan para perempuan dalam menuntut kesetaraan hak mereka di mata dunia. Mengulas singkat awal mula penetapan bulan Maret sebagai bulan bersejarah bagi perempuan dimulai ketika lima belas ribu pekerja perempuan di New York, Amerika Serikat menyuarakan hak mereka dengan menuntut peningkatan standar upah dan pemangkasan jam kerja dalam aksi demo pada 1908. Peristiwa tersebut memberi dorongan kepada para perempuan di belahan bumi lain untuk menyuarakan hal yang serupa, terbukti dengan ditetapkannya Hari Perempuan Internasional pertama pada 19 Maret 1911 di beberapa negara hingga akhirnya diakuinya keberadaan tanggal 8 Maret sebagai Hari Perempuan Internasional oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). 

Tidak berbeda jauh di Indonesia, gerakan-gerakan emansipasi oleh perempuan sudah ada sejak zaman pra kemerdekaan. Seringnya menyorot tentang kebebasan memperoleh pendidikan yang layak bagi setiap perempuan Indonesia, mengingat pada masa itu terjadi ketimpangan yang sangat kentara antara kaum laki-laki dan perempuan dalam akses pendidikan. Munculnya tokoh emansipasi seperti Kartini dan Maria Walanda Maramis menjadi bukti nyata ‘pemberontakan’ yang dilakukan perempuan dalam menuntut haknya dan menghapus ketidakadilan berbasis gender dengan mendirikan sekolah khusus perempuan yang dikelola sendiri. Tahun-tahun berikutnya, mulailah bermunculan organisasi perempuan sebagai bentuk pengokohan dalam memperjuangkan hak perempuan, seperti Poetri Mardika (1912), Kartini Fonds (1913), Pawijitan Wanita (1915), Aisiyah (1917), dan lainnya. Organisasi-organisasi tersebut menyerukan hal yang sama dan memiliki kesamaan tujuan, yakni menghapus ketidakadilan.

Akhirnya pada 1928, Kongres Perempuan pertama di Indonesia dilaksanakan di Yogyakarta. Kongres yang dihadiri oleh 30 organisasi perempuan ini menghasilkan beberapa poin penting terkait isu perjuangan perempuan Indonesia. Tiap kali berbicara tentang organisasi perempuan, kurang lengkap rasanya jika tidak mengikutsertakan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) di dalamnya. Sebelum memperlihatkan keberpihakan politiknya, Gerwani kerap menyuarakan isu feminisme, seperti pendidikan yang layak untuk perempuan, posisi perempuan dalam sebuah pernikahan, kekerasan seksual, hingga kedudukan yang setara antara laki-laki dan perempuan dalam berpolitik.

Eksistensi Gerwani diredupkan oleh rezim Orde Baru setelah surat kabar militer milik pemerintah menggaungkan bahwa Gerwani ikut terlibat atas terbunuhnya tujuh orang jenderal di Lubang Buaya. Akibat tragedi ini, beberapa perempuan yang bahkan bukan anggota Gerwani ikut dicurigai dan menjadi korban penangkapan oleh tentara. Perempuan jadi sasaran empuk pemberian stigma negatif kala itu. Dilansir dari laporan BBC (2021), hingga kini belum ada bukti autentik yang bisa memvalidasi laporan pemberitaan yang menyebutkan adanya penyiksaan seksual seperti yang telah dituduhkan kepada Gerwani. Hasil autopsi para korban yang berkebalikan dengan laporan pemberitaan media massa kala itu tidak pernah benar-benar dipublikasikan oleh pemerintah Indonesia. Puluhan tahun berlalu, lantas apakah perjuangan dan stereotip yang harus dialami oleh perempuan telah usai?

Zaman telah maju, teknologi berkembang, dan peradaban berubah, membuat tidak dapat dipungkiri gerakan feminisme di Indonesia telah mengalami kemajuan selama beberapa tahun terakhir. Ditandai dengan kemunculan banyak komunitas perempuan bergagasan women’s empowerement yang menawarkan isu kesetaraan. Namun, dalam praktik kesehariannya, perempuan kurang lebih masih dihadapkan pada permasalahan yang sama. Terbukti dari data survei oleh Badan Pusat Statistik yang menyebutkan bahwa rata-rata gaji pekerja perempuan masih lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki dengan posisi jabatan dan tanggung jawab yang sama. Kemudian, apabila dilihat dari aspek pendidikan, tidak sedikit perempuan yang terpaksa putus sekolah. Kondisi keluarga dengan ketidakmampuan ekonomi menganggap perempuan tidak lebih menguntungkan daripada laki-laki jika dilihat dari sisi investasi ekonomi.

Stereotip yang berkembang di masyarakat mengenai tindakan dan prestasi perempuan yang ‘tidak biasa’ jauh lebih kejam. Seolah ada benteng tinggi yang membatasi ruang gerak perempuan dalam lingkungan sosial. “Jadi perempuan harus bisa ini itu, tidak boleh begini, tidak boleh begitu,” katanya. Serangan seksisme dan diskriminasi gender banyak ditemui di masyarakat Indonesia. Hal tersebut yang juga membuat korban kekerasan seksual –yang ‘kebetulan’ lebih banyak dialami oleh perempuan- enggan untuk melapor karena lebih takut dengan opini yang akan diperolehnya dari masyarakat. Kita memang tidak lagi berada pada periode kolonial tetapi selama perempuan masih dihadapkan oleh permasalahan yang sama, gerakan emansipasi akan terus ada. Bentuk ‘pemberontakan’ lain akan terus bermunculan, karena sejatinya perempuan akan terus dihadapkan pada perjuangan.

Post Author: pers-upn

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *