RUU PPRT Tidak Berujung Sah, Masyarakat Telanjur Gerah

Jajak Tanggapan Warga UPNVJT pada Kesejahteraan PRT ke Depan

Ilustrasi Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (srr)

 

(R)UU PPRT atau Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga yang diusulkan sejak tahun 2004, walaupun telah masuk Prolegnas (waiting list) mirisnya hingga saat ini belum juga disahkan. RUU PPRT dinilai sangat penting dan mendesak untuk diadakan karena RUU PPRT ini berisi berbagai pasal yang menjamin akan kesejahteraan Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan memperjelas status PRT sebagai pekerja yang dijamin oleh undang-undang. Berbagai desakan dari pihak-pihak yang berkaitan dengan urgensi pengadaan RUU ini sudah berlangsung lama ada, tetapi belum memberikan tanda-tanda RUU ini akan segera disahkan. Desakan tersebut seperti approval dari Presiden RI Jokowi dengan memberikan pernyataan, “UU PPRT sudah masuk dalam daftar UU prioritas di tahun 2023 dan akan menjadi inisiatif DPR,” (dilansir dari suarasurabaya.net) dan sebagai dorongan untuk segera menyegerakan sahnya RUU ini.

Lebih dari 19 tahun RUU ini tidak disahkan dan lebih dari 19 tahun pula status PRT ini tidak dianggap sebagai pekerja, padahal PRT ini juga bekerja dengan menguras tenaga dan pikiran seperti kaum pekerja di sektor lain. Hanya saja posisi PRT ini dinilai kurang beruntung dikarenakan PRT adalah kaum pekerja yang rentan, karena bekerja dalam situasi yang tidak layak yaitu: jam tidak dibatasi waktu, tidak ada istirahat, tidak ada hari libur, tidak ada jaminan sosial (kesehatan dan ketenagakerjaan), kekerasan dalam bekerja baik secara ekonomi, fisik dan psikis (intimidasi, isolasi); rawan diskriminasi, pelecehan dan perendahan terhadap profesi; PRT tergolong angkatan kerja tidak diakui sebagai pekerja sehingga dianggap pengangguran; dan PRT tidak diakomodasi dalam Peraturan Perundang-undangan Ketenagakerjaan Republik Indonesia. Pertanyaan seribu dolarnya adalah akankah RUU ini menjadi sebuah harapan ataukah sebuah valedictorian bagi para PRT di luar sana akan kesejahteraannya?

Arief Rachman Hakim, selaku dosen pengajar di Fakultas Hukum (FH) Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur (UPNVJT) menjajakan pendapat terkait dinamika RUU PPRT ini bahwa RUU PPRT bergantung pada political will suatu pejabat pemerintah, dalam hal ini DPR yang paling menentukan nasib RUU ini dikarenakan RUU PPRT adalah produk politik dan sebuah produk politik tentunya diharapkan mewujudkan political will dari pejabat pemerintahan. “Suatu undang-undang itu harus ada political will ya kemauan politik dari anggota DPR semua undang-undang itu, seperti RUU PPRT yang sempat dibahas di tahun 2000-an dan kemudian menjawab ini, RUU PPRT ini menjadi undang-undang yang akan dibahas atau bahkan disahkan karena keinginan politik ini dan sekali lagi keinginan politik ini tidak muncul atau tidak mudah muncul dan ketika itu muncul harus segera diselesaikan,” pungkas Arief (15/2). Beliau juga menyatakan bahwa RUU PPRT ini memiliki urgensi yang tinggi dan diperlukannya tekanan dari publik agar pengupayaan pengesahannya disegerakan untuk sah karena RUU PPRT ini memberikan titik terang akan kesejahteraan para PRT dan memberikan dampak baik pada banyak pihak.

Kesejahteraan para PRT begitu penting mengingat masih banyaknya perbuatan-perbuatan di balik layar ketika mereka mengalami tindakan yang tidak layak. RUU PPRT telah mengandung poin yang menjunjung HAM (Hak Asasi Manusia), memperjuangkan anti-diskriminasi, dan  memperkecil kejahatan. Akan tetapi, hal tersebut tetap tidak cukup dijadikan sebagai penunjang dalam disahkannya RUU ini. Abdullah Fikri selaku dosen pengajar FH UPNVJT juga berpendapat bahwa manusia memiliki sesuatu yang disebut dengan human dignity yang menyebabkan pengesahan RUU ini begitu penting. “Manusia itu kan memiliki dignity yang dijadikan  dasar untuk mengapa kok kemudian PPRT ini penting. Karena prinsipnya  semua manusia itu memiliki prinsip human dignity,” ujar Fikri (16/2). Dengan mempertimbangkan dignity pada tiap-tiap manusia (dalam hal ini PRT) menjadikan kesejahteraan PRT menjadi urusan semua orang dan patut untuk diselesaikan dan dipedulikan. PRT butuh sesuatu yang dapat menjamin akan kehidupan mereka dan RUU PPRT ini menjanjikan hal itu, prinsip human dignity telah tertuang dalam RUU ini dan harus  dirumuskan dalam kerangka peraturan perundang-undangan karena ketika  tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan lantas persoalannya adalah bagaimana PRT ketika terjadi kekerasan seksual, kekerasan  fisik, diskriminasi, bahkan berpotensi terjadi tindak-tindak pidana lain seperti pembunuhan, pemerasan, dan sebagainya. 

Melihat berbagai paparan pendapat di atas, terasa sukar diterima apabila RUU ini tidak memiliki ending yang baik. Apabila melihat alasan pengadaan, RUU ini sudah sangat sesuai. Dilihat pada segi kandungan dan substansi juga sudah siap. Bahkan, pada dasar negara kita yaitu UUD 1945, RUU ini dinilai mendukung dan mengupayakan realisasi dari Pasal 28I yang menyebutkan bahwa perlindungan, kemajuan, penegakan, dan pemenuhan  HAM itu tanggung jawab negara terutama pemerintah. Clara Sophia Naomi (FH/21) memberikan pendapatnya bahwa RUU ini semata-mata sebagai upaya perlindungan dan penunjang HAM secara spesifik terhadap suatu kelompok profesi yaitu PRT. “Sebenarnya RUU ini digunakan sebagai perlindungan secara komprehensif kepada para pekerja rumah tangga, RUU ini juga mengatur tentang pemberi kerja dan penyalur kerja. Jadi ada perlindungan untuk pemberi kerja dan penyalur kerja, penyalur kerja ini yang menyediakan pekerja rumah tangga,” ujar Sophia. RUU ini juga tidak hanya menguntungkan pada pihak PRT saja, melainkan juga pada pihak majikan. Namun, pihak pemerintah tidak menyegerakan pengesahan ini dikarenakan berbeda atau mungkin berseberangan dengan political will yang diinginkan oleh pemerintah saat ini, ironi. (ant/kzh/rca)

Post Author: pers-upn

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *