Oleh : Mujtahiddin Assyiddiecky
Sumber : freepik
Diorama kaleidoskop dua tahun mendatang mengantar pergolakan politik kompleks pada tahun ini. Petualangan banyak partai dan calon pemimpin dimulai untuk menguras simpati masyarakat. Variasi cara yang konsisten diharapkan menjadi konteks persuasi agar ketertarikan rakyat menimbulkan kepercayaan publik pada segala aspek yang ingin dicapai. Sebanyak 37 provinsi bersiap ikut andil dalam belantika panggung politik pesta demokrasi nusantara. Menawarkan berbagai pernyataan berbanding sejuta pertanyaan di benak masyarakat yang biasa disebut janji tanpa realisasi.
Kampanye menjadi kegiatan rutin yang seakan wajib diselingi distorsi pelaksanaan demi merengkuh tuntutan partai dan menduduki jabatan idaman. Keinginan rakyat bukan hanya pemimpin yang berjuang meraih kursi kekuasaan, melainkan juga mereka yang bersikeras untuk dipertahankan keberadaannya. Kehadiran era politik juga mencanangkan pemeran jurnalistik agar tidak membiaskan etika jurnalistik serta hakikat integritas pers. Peran fundamental media sebagai penyampai informasi justru berbalik menjadi pengolah informasi dengan pengingkaran fakta demi ganjaran pundi rupiah.
Keberadaan sistem daring memudahkan tersebar luasnya sebuah informasi baik yang benar maupun sesuatu yang dibenar-benarkan. Para penggiat gawai dengan mudahnya berinteraksi satu sama lain untuk bertukar aspirasi serta informasi. Namun, keberadaan teknologi seringkali justru disalahartikan oleh para awak media untuk menyulap hal yang sederhana menjadi sesuatu yang diperbincangkan beberapa saat kemudian. Kampanye secara luring dinilai menghabiskan biaya yang luar biasa hingga para calon pemimpin memilih jalan modern sebagai terobosan promosi diri.
Hegemoni pihak asing dalam rekonstruksi hakiki peran jurnalis menghasilkan nilai negatif dalam diri jurnalis. Campur tangan mereka seolah membuat kita menjadi asing di negara kita sendiri. Pengekangan demi mendukung rezim yang berkuasa agar eksistensinya tetap terjaga menjadi salah satu cara bertahan di negeri ini. Tidak sedikit partai politik yang meramu berbagai media baik cetak maupun elektronik sebagai tumpuan utama dalam meraup suara. Itulah salah satu alasan pelaku politik memiliki stasiun televisi dan harian surat kabar. Agar berita yang ditampilkan bukan hasil jurnalis dapatkan melainkan sesuai apa yang mereka kehendaki demi tujuan pribadi.
Kesengsaraan saudara satu bangsa yang berdomisili di sudut Indonesia justru terabaikan oleh pengalihan isu penyelewengan dan tirani para borjuis yang seakan menasbihkan diri sebagai penemu negeri. Di sinilah dilema para jurnalis untuk tetap menampilkan perihal independensi atau bersembunyi di balik dasi-dasi politisi. Oleh karena itu, pada tahun 2022 ini peran jurnalis sangat penting untuk mencetak elektorat yang beranalisis dalam mengambil sebuah langkah. Pers harus mampu meredam arogansi pemimpin negeri agar rakyat mengerti siapa yang benar dan siapa yang membenarkan diri.