Kolaborasi UU TPKS, Permendikbud-Ristek PPKS, dan Peraturan Rektor UPNVJT
Ilustrasi Peraturan Kekerasan Seksual (udn)
Pada Selasa (12/4) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) pada Sidang Paripurna ke-19. Selama kurang lebih delapan tahun, RUU TPKS memiliki perjalanan panjang yang dimulai pada tahun 2014. Awalnya, penyusunan RUU sudah dilakukan oleh Komisi Nasional (Komnas) Perempuan. Pada tahun 2021 RUU TPKS telah resmi masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021-2024. Padahal, RUU TPKS sempat dikeluarkan dari program tersebut setahun sebelumnya.
Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) terdapat 8 Bab dan 93 Pasal yang mengatur pencegahan, penanganan, dan pemidanaan dalam kasus kekerasan seksual dengan perspektif korban. Selain itu, fokus dalam UU TPKS tidak hanya perlindungan korban, tetapi juga penanganan yang akan dilakukan. Tindak pidana kekerasan seksual ini diatur dalam Pasal 4 ayat 1 yang terdiri atas sembilan tindakan, antara lain pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan kekerasan seksual berbasis elektronik. Selain tindak pidana kekerasan seksual yang diatur dalam ayat 1, tindakan lainnya juga disebutkan pada ayat 2 mengenai tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai TPKS sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Disahkannya RUU TPKS ini menjadi suatu ujian penerimaan bagi masyarakat, karena UU TPKS ini menjadi payung hukum dalam kekerasan seksual yang masih belum optimal. Pasti akan ada pro dan kontra, mulai dari fase pengusulan hingga pengesahan. Dapat diapresiasi bahwa UU TPKS ini memihak korban tindak kekerasan seksual dan dapat dikatakan memperjuangkan hak secara komprehensif yang berupa penanganan, perlindungan, serta pemulihan. Tak hanya itu, adanya victim trust fund yang dijelaskan pada Pasal 30 tentu akan menjamin proses pemulihan korban. Namun, beberapa pembahasan UU TPKS masih ambigu dan bahkan ‘hilang’. Terdapat pembahasan aborsi akibat kekerasan seksual dan pemerkosaan yang tidak dijelaskan di dalamnya. Hal-hal semacam itu dinyatakan untuk menghindari tumpang-tindih oleh UU di luar TPKS. Aborsi yang telah diatur dalam UU Kesehatan diharapkan tercantum juga dalam UU TPKS mengenai prosedur yang aman. Hal ini disebabkan skala prioritas UU TPKS perihal tindak kekerasan seksual.
Perihal kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan secara online, pemerkosaan, serta beberapa hal lain telah dibahas pada UU sebelumnya, diatur secara khusus dalam UU TPKS. Menanggapi persebaran ini, Eka Nanda Ravizki sebagai dosen pengajar Fakultas Hukum (FH) Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur (UPNVJT) menyatakan, “Ada negara yang tidak mempermasalahkan tersebarnya peraturan perundang-undangan, sementara Indonesia memilih kodifikasi khusus. Penanganan khusus kekerasan seksual dibentuk karena jumlah kasus melimpah, adanya celah hukum, dan penanganan yang tidak stabil. Walaupun ada penyebaran hukum, hal itu tidak berjalan efektif sehingga dibuatkan penanganan khususnya atau disebut juga tindak pidana khusus. Jadi, persebaran hukum tersebut tidak menjadi penghalang atau hambatan bagi UU TPKS ini,” ungkapnya saat diwawancarai pada (27/4) melalui zoom meeting.
Mengenai penetapan UU TPKS sendiri, belum ada penomoran UU yang membuat timbulnya pertanyaan, Apakah UU TPKS sudah berjalan?. Dalam hal ini, Maria Novita Apriyani yang juga dosen pengajar FH UPNVJT menjelaskan, “Pasca pengesahan RUU TPKS menjadi UU, perlu tindak lanjut berupa diklat pengembangan kapasitas SDM untuk memastikan apakah UU tersebut dapat diimplementasikan secara efektif di masyarakat dan dapat menjawab kebutuhan dari pihak korban kekerasan seksual. Hingga saat ini, masih ada tindak lanjut yang harus diselesaikan mengenai UU TPKS ini, yaitu penyelesaian penyusunan peraturan pelaksanaan”. Jadi, saat ini sudah layak disebut UU TPKS, karena sudah disahkan dan mengalami penyelesaian penyusunan peraturan pelaksanaan sekiranya setahun setelahnya.
Sebelum pengesahan RUU TPKS, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim telah mengesahkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Permendikbud-Ristek PPKS) sebagai bentuk antisipatif untuk menangani kekerasan seksual di dunia pendidikan. Peraturan ini mengatur penanganan kekerasan seksual di kampus yang mewajibkan lembaga untuk membentuk Satuan Tugas (Satgas) khusus non-ad hoc yang melibatkan perwakilan mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan perguruan tinggi. Nadiem menyatakan bahwa belum ada peraturan mengenai pencegahan dan penanganan kekerasan seksual pada kondisi tertentu yang melibatkan mahasiswa. Namun, dalam beberapa waktu lalu muncul kontroversi dari adanya miskonsepsi artian dalam Permendikbud-Ristek ini. Berdasarkan web resmi Mahkamah Agung (MA), pada Senin (28/3) Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau Sumatera Barat (LKAAM Sumbar) mengajukan permohonan Judicial Review kepada MA terkait dengan penolakan sejumlah poin yang ada di Permendikbud-Ristek PPKS. Salah satu poin yang diajukan adalah terkait persetujuan seksual yang dianggap akan melegalkan seks bebas yang dianggap bertentangan dengan UU Pendidikan Tinggi yang menjunjung tinggi moralitas. Menanggapi hal tersebut, MA resmi menolak permohonan tersebut, sehingga keputusan ini sudah sejalan dengan implementasi UU TPKS nantinya.
Diterbitkannya Permendikbud-Ristek PPKS juga merupakan angin segar bagi langkah penghapusan kekerasan seksual, termasuk di UPNVJT. Hingga kemudian, pada (10/1) telah ditetapkan Peraturan Rektor (Pertor) Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur No. 2 Tahun 2022 sebagai respons kehadiran Permendikbud-Ristek. Dengan 10 Bab dan 50 Pasal, Pertor ini berisi tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan UPNVJT. Sasaran Pertor ini yaitu seluruh warga UPNVJT, yaitu mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan serta masyarakat umum yang berinteraksi dalam pelaksanaan Tridarma.
Selayaknya peraturan hukum, peraturan tindakan kekerasan seksual ini juga memiliki tingkatan atau turunan yang saling berkaitan. Menurut Hervina Puspitosari, selaku Ketua Satuan Pengawas Internal (SPI) dan dosen pengajar FH UPNVJT, Pertor yang ditetapkan atas dasar Permendikbud-Ristek PPKS memiliki keterikatan dengan UU TPKS. Ketiga peraturan tersebut menekankan pada proses rehabilitasi terhadap korban kekerasan seksual dari trauma pascakejadian. Korban kekerasan berbasis gender online juga ikut mendapatkan perhatian dengan adanya UU TPKS dan Pertor. Selain itu, menurut Eka, adanya Permendikbud-Ristek PPKS yang terkesan mendahului UU TPKS ini telah menunjukkan dinamika penyusunan yang sangat berlarut dan tak kunjung selesai sehingga langkah ini dinilai sebagai langkah preventif di lingkup pendidikan yang sangat rentan terhadap kasus kekerasan seksual.
Kemudian sebagai wujud pencegahan kekerasan seksual, akan dibentuk Satgas yang dijelaskan dalam Pertor Bab 5. Tim Satgas dibentuk pertama kali melalui panitia seleksi yang terdiri dari pendidik, tenaga kependidikan, dan mahasiswa sendiri agar turut andil dalam tindakan pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual di lingkungan UPNVJT. Oleh karena itu, pihak kampus melalui akun Instagram @upnveteranjawatimur mengumumkan pembukaan pendaftaran panitia seleksi Satgas pada (22/4) dengan rentang waktu 25 April-13 Mei 2022. Hervina selaku Ketua SPI menyampaikan keanggotaan dari Satgas. “Memang untuk saat ini, rekrutmen hanya dibuka untuk keanggotaan tim panitia seleksi yang berjumlah paling sedikit tiga orang dan paling banyak tujuh orang. Panitia seleksi ini sifatnya sementara yang nantinya akan membentuk tim Satgas. Tim Satgas harus terwakilkan oleh sedikitnya 2/3 anggota perempuan dari keseluruhan. Diharapkan pembentukan selesai Juni 2022,” paparnya. Hervina beranggapan peran aktif dari mahasiswa akan menunjang kelancaran kinerja tim satgas dan sebagai evaluator apabila terjadi penyelewengan kerja pada prosesnya.
Dengan adanya UU TPKS dan Pertor, diharapkan dapat membantu dalam proses pendampingan dan rehabilitasi pada kasus kekerasan seksual. Hervina berharap agar tidak hanya korban, tetapi pelaku juga memerlukan rehabilitasi agar tersadar dari tindakannya yang menyimpang secara seksual. Kemudian Maria berharap pada pelaksanaan Pertor perlu didukung oleh semua lapisan masyarakat yang ada di UPNVJT. Selanjutnya, Eka menambahkan dengan adanya Permendikbud-Ristek, Pertor, UU TPKS berdampak pada mahasiswa khususnya perempuan agar merasa aman dan nyaman dalam beraktivitas di kampus serta tidak perlu takut dalam bergaul. Hal ini dikarenakan adanya mekanisme untuk melapor kepada satgas, serta tidak perlu takut akan konsekuensi pelaporannya. (nel/muj/haf)