Keindahan Sastra Tidak Seharusnya Melewati Batas Toleransi Masyarakat
Mahasiswa memegang poster dengan unsur seksisme
Sumber: Twitter
Aksi demonstrasi mahasiswa pada Senin (11/4) di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) telah digelar oleh aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) dan diikuti daerah lain bersama gerakan mahasiswa lainnya yang bertujuan untuk melakukan tuntutan kepada Presiden Joko Widodo mengenai beberapa konflik atau permasalahan yang terjadi di masyarakat dewasa ini. Tuntutan mengenai isu kenaikan harga, pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS), presiden tiga periode, dan beberapa hal lain ini mendorong mahasiswa yang merupakan Agent of Change melakukan aksi demonstrasi sebagai bentuk protes dan kekecewaan. Alih-alih menyampaikan aspirasinya, dalam pelaksanaan demonstrasi oleh mahasiswa yang dikatakan sebagai gerakan intelektual justru banyak ditemui poster-poster yang bernada seksual. Lantas, apakah hal ini bisa dibenarkan?
Dalam manajemen aksi, poster termasuk ke dalam perlengkapan demonstrasi yang penting untuk diperhatikan. Sebab, selain penyampaian pesan secara verbal oleh orator, pesan disampaikan secara non-verbal melalui poster yang dibuat sesuai dengan tujuan dan tuntutan. Namun, jika kalimat dan diksi yang dibangun merujuk pada hal-hal seksual, alih-alih mengkritik melalui pesan satire, yang dipertanyakan justru etika dalam pesan tersebut. Menurut Donald K. Wright, dalam mengkritik menggunakan poster atau media visual tetap harus memperhatikan prinsip etika, moral, dan nilai sehingga tidak asal dalam membuat. Lantas, tidak salah apabila muncul opini yang mengatakan poster-poster tersebut tidak mencerminkan seseorang yang berpendidikan dan mencederai aksi pembelaan konstitusi.
Lahirnya bahasa protes dalam poster sebenarnya menunjukkan usaha agar pesan-pesan politiknya menarik dan menjadi atensi masyarakat. Mereka menyadari pesan-pesan politik yang normatif dan datar akan diabaikan oleh masyarakat dan subjek politik yang mereka protes. Hal tersebut ditunjukkan oleh salah satu mahasiswa pemegang poster terkait bahasa di dalam poster yang dibuatnya sebagai mahasiswa sastra “Mungkin bagi beberapa orang tulisan ini agak sedikit tabu, ditambah teman-teman yang bukan anak bahasa atau sastra akan sulit memahami mengapa saya menggunakan kata tersebut, yaitu karena ingin menyuguhkan asonansi di dalamnya,” ungkapnya melalui Instagram story miliknya.
Poster-poster tersebut tentunya menuai kritik dari berbagai pihak karena dianggap tidak pantas dan mengganggu tujuan asli dari demonstrasi, yaitu menyampaikan aspirasi. Selain itu, hal ini mengakibatkan adanya kontradiktif dengan salah satu tuntutan yang dibawa mahasiswa, yaitu pengesahan RUU TPKS karena bersifat diskriminasi gender melalui tulisan dalam poster tersebut. Berkaitan dengan tujuan penggunaan poster, Adelia Savitri sebagai dosen mata kuliah umum Bahasa Indonesia berpendapat, “Kalau poster, ya kalau memang mau menggunakan makna konotatif ya harus dipilih konotasi yang maknanya juga positif, karena yang mau kita perjuangkan itu adalah hal yang positif, jangan sampai ketika kita memilih konotasi yang negatif kemudian menutupi maksud kita yang positif tadi untuk memperjuangkan kepentingan rakyat,” ujarnya. Tentunya penggunaan bahasa-bahasa yang bernada seksual dengan tujuan menarik perhatian tentu saja itu tidak dapat dibenarkan karena mahasiswal harusnya bisa menunjukkan bagaimana sisi intelektualnya dalam menyampaikan pendapat terutama aspirasinya dalam demokrasi.
Ilmatus Sa’diyah yang juga dosen mata kuliah umum Bahasa Indonesia memberikan tanggapannya mengenai kepantasan dalam berdemokrasi maupun berbahasa, “Secara akademik berdemokrasi, sah saja. Namun, secara etika berbahasa, tentu tidak relevan dengan budaya timur kita yang dikenal santun bahasanya. Apalagi, pembaca poster ini kan tidak hanya pemerintah. Tetapi juga kalangan anak-anak di bawah umur yang belum tentu memiliki saringan penggunaan bahasa yang baik.” kemudian Ilmatus menambahkan terkait penyampaian secara linguistik bahwa bahasa tidak pernah salah, tetapi yang salah ialah persepsi manusia. “Jadi, untuk tujuan agar pesan mudah disampaikan kita bebas menggunakan diksi. Sayangnya, persepsi kita sebagai manusia berbudaya timur memberi batasan itu,” ungkapnya dalam wawancara tertulis dengan UK Pers Mahasiswa (13/4).
Penggunaan bahasa ini tentu berpengaruh pada kesan yang tersampaikan di masyarakat, untuk itu Ilmatus mengimbau mahasiswa untuk memilih bahasa yang menarik agar esensi pesannya tidak tertutupi oleh kontroversi. Sedangkan untuk partisipasi mahasiswa, Adelia menekankan bahwa mahasiswa yang mengikuti demo haruslah melakukan kajian-kajian ilmiah mengenai tuntutan sebelum terjun melakukan aksi. Penggunaan asonansi dalam konteks ini dengan tujuan menarik simpati akan berbalik menjadi antipati karena tidak menunjukkan kaum intelektual sebagai mahasiswa dan tentunya akan melanggengkan seksisme maupun pelecehan non-verbal dalam masyarakat.
Dapat disimpulkan bahwa penyampaian pesan demokrasi yang menarik memang diperbolehkan untuk menarik atensi masyarakat tetapi perlu pula penanaman karakter mahasiswa yang berpendidikan dan beretika, jangan sampai kepentingan pribadi yang bertuliskan “Pengen viral” mencederai konstitusi dan nilai demokrasi dalam aksi unjuk rasa. (nel/haf)