Tak Hanya Menuntut Penyelesaian Kasus HAM, KM UPNVJT Turut Memperingati Hari Tani
Aksi September Berdarah di Gedung Grahadi Surabaya pada Senin (27/9).
Sumber: Dokumen Pribadi Persma
Keluarga Mahasiswa (KM) Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur (UPNVJT) kembali mengadakan aksi massal pada Senin (27/9). Kali ini aksi yang diangkat adalah mengenai tuntutan penuntasan kasus Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi di Indonesia. Aksi yang dikemas dengan sebutan ‘September Berdarah’ ini juga merupakan bentuk solidaritas kepada mahasiswa yang menjadi korban serta memperingati Hari Tani (24/9). Gedung Serba Guna (GSG) Giri Loka UPNVJT menjadi titik kumpul mahasiswa sebelum menjalankan aksinya di Gedung Grahadi Surabaya. Orasi disampaikan oleh Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UPNVJT, Andre Prasetyo (FISIP/17), dan Koordinator Pelaksana aksi, Djenggala (FISIP/20), sejak pukul 09.30 WIB dan berlangsung selama lima belas menit.
Bulan Kelam, September Hitam. Itulah yang tertulis dalam spanduk yang dibawa saat aksi. Bagi KM UPNVJT, September menjadi bulan yang memiliki banyak kasus mengenai pelanggaran HAM, mulai dari pembunuhan massal 1965, pelanggaran HAM di Aceh dan Papua, kasus Tanjung-Priok, kasus Way Jepara-Lampung, penculikan aktivis pro-demokrasi 1997/1998, tragedi Trisakti, tragedi Semanggi I dan II, kasus Ambon, pembunuhan pejuang HAM Munir Said Thalib, aksi nasional #ReformasiDikorupsi, dan berbagai kasus lainnya. Gugurnya massa, terutama mahasiswa, pada beberapa aksi yang telah dilakukan seharusnya menjadikan teguran keras bagi pemerintahan yang sikapnya masih saja brutal.
Andre menekankan bahwa hingga saat ini masih banyak kasus pelanggaran HAM dan konflik agraria di Indonesia. “Kita ingin konflik agraria itu lebih diperhatikan oleh mahasiswa, masyarakat, dan Pemerintah Kota Surabaya. Untuk kasus pelanggaran HAM, kita ingin kasus ini dituntaskan oleh Pemerintah Pusat sesuai janji saat kampanye.” Menurutnya, sesuatu yang dilupakan saat ini merupakan suatu kesengajaan. Oleh karena itu, aksi ini dilakukan untuk mengingatkan mahasiswa dan masyarakat Indonesia, khususnya warga Surabaya, untuk tidak melupakan permasalahan yang ada di masa kini maupun masa lalu. Hal tersebut dikarenakan suatu sejarah juga menjadi bagian dari sebuah pemerintahan. Aksi yang hanya berlangsung selama lima belas menit karena dibatasi oleh kepolisian ini membuat Djenggala merasa sangat kecewa. Ia dan massa dipaksa harus membatasi kerumunan dan aksinya dengan alasan Covid-19. “Padahal kegiatan-kegiatan lain yang profit oriented sudah berjalan dan dibiarkan saja. Namun aksi kemanusiaan seperti ini malah dihalangi dan dipersekusi,” tuturnya.
Ardicha (FH/20) turut memberikan tanggapannya terkait aksi yang dilakukan. Melalui wawancara daring (29/9), Ardhica menjelaskan bahwa aksi ini tercetus karena upaya-upaya yang dilakukan tak kunjung mendapatkan respon seperti yang diharapkan. “Aksi September Berdarah merupakan wujud nyata dari muaknya kami sebagai mahasiswa akan ketidaktuntasan pemerintah dalam menyikapi permasalah isu HAM, baik di masa lalu hingga tempo dulu. Berangkat dari rasa itu lah, kami sudah menempuh segala upaya. Mulai dari penyampaian aspirasi mengenai penuntutan pengusutan permasalahan atas HAM di Indonesia melalui kajian hingga sosial media.” Ia juga menganggap hak kebebasan berpendapat dalam aksi ini tidak diberikan sepenuhnya. Hal ini dibuktikan dengan waktu yang diberikan pihak kepolisian yang relatif singkat, yaitu lima belas menit. “Lima belas menit adalah waktu yang kurang, tidak cukup, bahkan jika hanya untuk menyampaikan tuntutan. Apalagi jika dibandingkan dengan berapa lama anak atau ibu yang tetap menunggu sembari bertanya-tanya ayah atau anaknya tak kunjung pulang ketika menyuarakan aspirasinya.”
Almer Ammar (FISIP/19) yang juga turut menjadi massa dalam aksi ‘September Berdarah’ mengajukan solusi yang seharusnya bisa diberikan oleh pemerintah. “Harusnya kita diberi kejelasan. Leluasa mengenai dibentuknya tim investigasi khusus. Walau tim ini memang seharusnya dibentuk dari dulu, tetapi jika dilakukan sekarang juga tidak apa-apa. Pada periode kedua Jokowi juga beliau telah menyampaikan akan lebih berfokus pada masalah-masalah HAM.” Walaupun dengan waktu yang singkat, menurut Almer aksi ini mampu mendapat atensi masyarakat kembali karena dilakukan di dekat jalan raya. “Jangan sampai masyarakat juga lupa dengan kasus-kasus ini dan memang harus selalu ditagih. Walaupun memang kasus tersebut sudah lama, tuntutan-tuntutan harus tetap hidup hingga kasus terselesaikan.” (dyr/akb/rky)