Oleh : Mujtahiddin Assyiddiecky
Purnama tersipu malu di awal malam Minggu. Beberapa anak kecil menghitung banyak kejora ditemani air susu ibunya. Sementara itu, aku bersiap menemui Aksara, satu-satunya ilustrasi Hawa yang mengambil hatiku tanpa disadarinya. Motor bututku menyiapkan joknya untuk menerima pantat sekal milik Aksara. Jaket jin lengkap dengan bordir bertuliskan “Reksa” yang merupakan nama pemberian Bunda.
Sudah pukul tujuh, mataku melirik ke jam tangan digital warna hijau tua di tanganku. Langsung saja, kuarahkan kemudiku ke perumahan elite di barat pertokoan metropolitan. Lima belas menit berlalu, aku menghentikan perjalanku di depan pagar putih di ujung jalan.
“Assalamualaikum, selamat malam,” ujarku dari dekat kotak kecil dekorasi pagar.
“Siapa?” sahut suara yang sudah tidak asing bagiku.
“Reksa.” Aku berusaha mendekat ke balik pintu pagar.
“Oh kamu, iya ada apa ya?” Aksara meletakkan pandangannya pada seluruh diriku.
Sebuah sambutan yang sama sekali tidak memberikan kehangatan. Apakah cintaku beterbangan seorang diri? Di mana letak hati yang bersiap menerimanya? Bagaimana bisa hati yang terlanjur ingin aku miliki tidak membiarkan aku menyentuhnya sedikit pun.
“Reksa?” suara Aksara menyadarkan lamunanku beberapa saat lalu.
“Oh iya, aku ingin mengajakmu jalan-jalan di sekitar sini. Ada yang ingin aku bicarakan,” jawabku dengan cukup letih.
“Maaf ya, Rek. Aku tau kamu sangat mencintaiku, tetapi aku sudah milik orang lain. Tidak adil rasanya jika hatiku sudah kuserahkan padanya, tetapi aku malah menikmati malam denganmu.” Aksara berlalu meninggalkanku di depan pagar putih tadi.
Sial. Keadilan macam apa itu tadi. Lekas aku mengarahkan motorku ke warung kopi dekat balai kota.
Semesta adalah waktu dan kita menjelma menjadi detik-detik tak berporos. Langkah merotasi kelana menuju masing-masing pemberhentian. Degub merupa sisa-sisa kuasa yang lepas diujung kerinduan. Lekas kita mengasihani diri sendiri yang layu saat berpijak seorang diri. Serta ujung setiap setapak adalah pengembalian, dari pertemuan yang menuntut cerita pada segala perjalanan.
***
Seminggu berlalu dan aku masih mengingat betul ucapan Aksara bahwa jika ingin memilikinya aku harus mengambil hatinya terlebih dahulu. Berbagai kata-kata puitis dan beberapa lagu romantis telah aku siapkan. Aku tidak mau yang lain, hanya Aksara seorang.
Setelah merasa tampan, aku kembali bergegas menemui Aksara yang ternyata sudah menunggu di halaman belakang rumahku. Betapa senangnya hatiku menyaksikan kekasihku terlihat bahagia setelah aku berusaha mendapatkan hatinya. Tak lupa kusiapkan kudapan berupa teh hangat dan roti bakar rasa stroberi kesukaannya.
“Selamat malam sayang, sebentar ya aku harus membersihkan lantai di ruang tamu, nikmati saja kudapan ini,” ucapku manja sambil pamit meninggalkan Aksara sebentar.
Ranting-ranting telanjang memamerkan diri di antara dedaunan yang gugur secara berkala. Menyisakan sedikit gundah di ujung setiap patah. Gadisku berdiri seorang diri, memantaskan diri di antara diorama sabana di sudut sebuah metropolitan. Senyumnya mendekorasi sebuah bingkai sederhana bagian dari linimasa. Rindunya membujur kaku, menyesatkan diri pada labirin penuh liku tanpa tuju. Ia terus mengitarinya, menyusuri tiap bagian dengan harapan menemukanku. Lelah memaksanya menyerah, segalanya seakan menolak kalah.
“Selamat pagi sayang, apakah teh yang kubuat kurang manis hingga kau diamkan dingin begitu saja?” kataku yang mulai kesal.
Kekasihku tidak tersenyum sedikit pun. Apa yang terjadi? Padahal aku telah berhasil membuatnya untuk adil mencintaiku. Dengan susah payah kurobek dadanya untuk mengambil hatinya, tetapi mengapa ia diam tanpa kata. Tuhan, kembalikan dia, Aksara hanya milikku.
“Lalu, apa yang harus aku lakukan dengan hati Aksara yang ada di tanganku ini?”, pungkasku sambil tertawa.