Oleh : Alfiya Damayanti
Ilustrasi Bersatu Berjuang Melawan Covid-19
(Designed by Freepik)
Namaku Ara kelas 12 SMA Jakarta, waktu itu sekitar bulan Maret 2020 seperti biasa aku berada di sekolah, tertawa bersama teman-teman sampai guru datang dan memberi kami arahan baru.
Sangat disayangkan, dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mendikbud Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pendidikan Dalam Masa Darurat Coronavirus Disease (Covid-19). Maka proses pembelajaran dilakukan di rumah secara daring dan untuk UN 2020 ditiadakan,” ucap Bu Anik.
Suara riuh mulai terdengar, kebanyakan dari kami sangat senang. Artinya tidak perlu mandi pagi untuk berangkat sekolah dan tidak pusing dengan rumus. Kami tidak memikirkan hal lain, bagi kami tidak sekolah pun sudah cukup. Namun, kami salah, karena seiring berjalannya waktu pandemi ini semakin meluas. Penyebarannya yang sangat cepat membuat tim medis berserta pemerintah kewalahan untuk menanganinya.
Aku sangat bosan, pasalnya pemerintah menerapkan kebijakan untuk tetap di rumah. Tidak ada lagi hang out, pokoknya benar-benar seperti Rapunzel hanya diam dan melakukan kegiatan yang itu-itu saja.
Memang sih, keluargaku bukan yang paranoid, maksudnya kami tetap melakukan kegiatan seperti biasa hanya saja yang berbeda kami harus menerapkan 5M. Memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, menjahui kerumunan dan membatasi mobilitas.
Bersekolah dari rumah dilanjut sampai aku lulus, ya Tuhan rasanya aku mau marah dengan keadaan tapi mau bagaimana kan? Tidak ada yang bisa aku lakukan, kecuali dengan mengikuti arahan pemerintah mematuhi protokol kesehatan yang ada. Semuanya serba online, menyebalkan sekali. Kalau mau ghibah atau sambat ya melalui Zoom atau media sejenisnya. Tidak dipungkiri bahwa aku merindukan suasana kelas yang berisik, rasa panik ketika ujian dan jam kosong yang menjadi incaran. Lelucon yang kerap terdengar lulusan Corona katanya.
“Gila sih, capek banget padahal di rumah cuman rebahan,” dumel Rasya.
“Nanti lagi mau kuliah, ya masa dari rumah juga. Ngerti apa gue hiks,” ucap Devan dramatis.
“Ye lu mah mau tatap muka atau gak tetep aja gak ngerti,” ejekku pada Devan.
“Pengen hang out gue,” keluh Nasya.
“FIX TAHUN DEPAN COVID-19 HILANG!” ucap Devan yang langsung kami aamiin-kan dan mengakhiri Zoom.
Itu pembicaraan kami sekitar bulan Mei 2020 dan lucunya tetap saja pandemi Covid-19 masih ada bahkan tidak terlihat kapan mau berakhir. Faktanya bukan hanya aku yang merasa sudah teramat bosan dengan keadaan ini, semua orang yang ada di dunia ini pasti merasakan hal yang sama.
Setahun berlalu, bahkan sekarang aku sudah menjadi mahasiswi dan tentunya daring dengan kondisi yang sama. Masyarakat disekitarku mulai meragukan kemampuan pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19 ini, banyak berita hoax yang diterima masyarakat membuat suasana semakin tidak terkendali.
“Rasanya sekarang yang ditakutkan bukan lagi penyakitnya, tapi biaya hidup. Kamu lihat aja banyak yang di-PHK, atau gajinya yang dipotong. Cari kerja susah Ra, makanya makin banyak kejahatan yang terjadi karena mereka butuh uang sedangkan pekerjaan gak ada,” tutur Paman Joko.
Aku menghela nafas berat, semakin difikirkan membuat kepala pusing. Awal terjadinya pandemi ini, memang sih kondisi ekonomi keluargaku terpuruk, bahkan aku nyaris tidak kuliah kalau saja aku tidak meminjam uang. Waktu Kak Mia, saudaraku sakit, ibuku buru-buru mencegahnya untuk berobat ke rumah sakit. Aku bingung awalnya tapi sekarang aku paham maksud ibu saat itu.
“Jangan ke rumah sakit, beli obat di apotik saja. Sekarang banyak orang yang cuman sakit biasa tapi divonis positif Covid-19,” ucap ibuku.
“Ibu tahu dari mana?” tanyaku.
“Banyak di berita, kamu gak tahu kalau rumah sakit yang ada pasien Covid-19 nantinya akan menerima dana klaim dari Kementrian Kesehatan. Jadi bisa dibilang dijadiin bisnis baru,” jelas ibuku.
“Dapat dipercaya gak beritanya, Bu?” tanyaku memastikan.
“Katanya sih, tapi ya jaga-jaga aja apa salahnya,” jawab ibuku.
“Lain kali jangan cepat percaya kalau masih dari katanya, Bu, banyak berita hoax sekarang yang bikin paranoid sendiri,” ucapku yang hanya dibalas anggukan malas dari ibuku.
Gak habis pikir sama mereka yang dengan sengaja menyebarkan berita hoax yang memicu kepanikan orang lain, maksudku ayolah dapet apa sih mereka melakukan hal tersebut?
Ketika aku memperhatikan masyarakat disekitarku, aku paham bahwa mereka sudah lelah dengan keadaan. Sering kali kutanya kenapa tidak pakai masker, mereka dengan santai menjawab “Kalau udah waktunya juga bakalan meninggal.”
Aku tidak tahu harus berekspresi seperti apa, jadi yang kulakukan hanya tersenyum tipis. Aku tidak bisa menghakimi, hanya saja aku sangat menyayangkan pola pemikirannya.
Setiap malam aku duduk termenung memikirkan akhir dari pandemi Covid-19, membayangkan keadaan yang baik-baik saja, bebas tertawa sambil memberikan pelukan hangat seperti dulu.
Baiklah, mari kuperjelas. Dalam hal ini tidak bisa hanya menyalahkan pemerintah, tenaga medis atau aparat yang bersangkutan mengenai masih adanya Covid-19 di Indonesia. Terlepas dari semua hal buruk yang simpang siur di telinga, kita semua berperan aktif untuk memastikan penurunan penyebaran Covid-19. Percayalah bahwa jika kita melakukannya bersama-sama, baik dari sisi pemerintah, tenaga medis atau aparat yang bersangkutan dan kita sebagai warga negara, cepat atau lambat keadaan akan membaik dengan semestinya. Patuhi protokol kesehatan ya, agar nantinya kita dapat bertemu kembali dengan tawa lepas yang menghiasi.