Oleh: Fitri Kusnayanti
“Lucunya di negeri ini, hukuman bisa dibeli. Kita orang yang lemah, pasrah akan keadaan…”
Begitu kiranya kutipan lirik dari sebuah lagu yang sempat viral beberapa tahun lalu. Lagu itu dinyanyikan oleh pria bernama Bona Paputungan itu cukup mewakili suara rakyat Indonesia yang seolah haus akan keadilan.
Pancasila sila kelima yang berbunyi Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia merupakan salah satu bentuk ketegasan mengenai keadilan yang seharusnya ditegakkan di negeri ini. Selain itu, pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi Negara Indonesia adalah negara hukum juga menambah makna mengenai Pancasila sila kelima dimana segala aspek kehidupan senantiasa berdasarkan hukum. Sehingga keadilan sosial dapat ditegakkan dengan hukum. Namun, kondisi hukum di Indonesia belakangan ini lebih sering menuai kritik daripada pujian akibat dirasa “tumpul ke atas, runcing ke bawah.” Artinya, bahwa keadilan di negeri ini lebih tajam dan kejam menghukum masyarakat kelas menengah kebawah daripada kalangan pejabat atau para tokoh masyarakat.
Sempat viral beberapa waktu lalu mengenai sosok Al Habib Muhammad Rizieq bin Hussein Shihab, atau yang lebih dikenal dengan Rizieq Shihab, seorang pimpinan Front Pembela Islam (FPI) yang terjerat kasus pelanggaran protokol kesehatan. Kasus ini bermula dari Rizieq Shihab yang menyelenggarakan kegiatan maulid dan pernikahan putrinya, Najwa Shihab di Petamburan, 14 November 2020 lalu tanpa mengindahkan protokol kesehatan. Kasus ini berbuntut panjang. Beberapa orang yang menghadiri kegiatan Rizieq terkonfirmasi positif Covid-19 dan kerumunan ini berpotensi menjadi klaster baru virus corona.
Dilansir dari tirto.id, Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan melalui Satpol PP memberikan sanksi administratif berupa denda sebesar lima puluh juta rupiah pada pimpinan FPI ini. Namun, denda ini dianggap tidak wajar mengingat kerugian yang ditimbulkan dari kegiatan tersebut jauh lebih besar. Masyarakat pun banyak yang beranggapan jika pemerintah tidak adil dalam menegakkan protokol kesehatan. Jika dibanding dengan kasus lainnya, denda yang diberikan pada Rizieq ini jauh lebih ringan. Sebagai contoh, aksi demonstrasi penolakan Omnibus Law yang dibubarkan bahkan para demonstran sampai dipukul dan ditendang aparat atau kasus Wakil Ketua DPRD Kota Tegal yang ditetapkan sebagai tersangka dan diancam hukuman satu tahun penjara karena menyelenggarakan konser dangdut di tengah pandemi. Sanksi lain bagi pelanggar protokol kesehatan dan dianggap kurang wajar yakni dihukum berdiam di peti jenazah, mengecor trotoar, sampai masuk ke mobil ambulance berisi keranda mayat.
Di sisi lain, hukuman Rizieq Shihab ini dianggap lebih ringan dari kasus lain seperti kasus rapat koordinasi menteri di Bali atau kasus Kampanye Gibran, Putra Presiden Joko Widodo yang tidak mendapatkan teguran keras.
Walaupun kasus-kasus tersebut berbeda ranah penanganannya, tapi bukankah hukum tetaplah hukum? Hukum harus ditegakkan dengan sebaik-baiknya agar kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, hukum itu sendiri, dan aparat terus terjaga? Pemerintah harusnya bisa tegas mencegah dan menghadapi pandemi yang sudah berlangsung setahun ini. Jika dibiarkan, masalah-masalah baru akan bermunculan. Jika dilihat dari kasus-kasus yang disebutkan tadi, nampaknya makin tinggi jawabatan si pelanggar hukum, makin ringan pula hukuman yang diterima. Hukum benar-benar seolah “tumpul ke atas, tajam ke bawah.”
Jadi, apa kepercayaan pada hukum ini tak patut dipertanyakan? Apa masih berlaku, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia itu? Atau keadilan yang sesungguhnya hanya isapan jempol belaka? Jangan-jangan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ini ada syaratnya, dimana yang berkuasa yang bisa mengatur segalanya, sedangkan yang lemah hanya terdiam pasrah meratapi nasibnya. Kalau seperti ini caranya, apa Indonesia bisa menjadi negara sebagaimana yang dicita-citakan pendirinya?