Aksi Menuntut Sanksi Pemecatan hingga Permohonan Maaf Dosen Terkait
Puluhan mahasiswa yang mengatasnamakan sebagai aliansi mahasiswa UPN “Veteran” Jawa Timur melakukan aksi demonstrasi pada Selasa (18/09). Aksi yang dilakukan didepan Gedung Rektorat ini terjadi karena adanya indikasi politik praktis dan kampanye terselubung yang dilakukan oleh Dyva, salah satu dosen Ilmu Komunikasi (Ilkom) di ruang 205 Gedung Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) II.
Hal ini didasarkan pada Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara tentang Netralitas ASN pada penyelenggaraan pilkada serentak tahun 2018, pemilu legislatif, dan pemilu presiden tahun 2019 No. B/71/M.SM/00.00/2017. Selain itu, pada aturan kampanye UU No. 17 tahun 2017 tentang pemilihan umum pasal 280 ayat (1) huruf H bahwa pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan, serta pada ayat (2) huruf F bahwa pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dilarang mengikutsertakan Aparatur Sipil Negara (ASN).
Aksi ini menuntut tiga poin utama yaitu menuntut agar rektor dan pejabat UPN menindak tegas oknum dosen yang terlibat dalam kegiatan kampanye politik di dalam kampus dengan memberikan sanksi pemecatan sesuai dengan aturan yang berlaku serta oknum dosen yang bersangkutan meminta maaf di depan khalayak umum atas perbuatannya, menuntut agar rektor, seluruh dosen dan tenaga kependidikan agar tidak terlibat dan menjaga netralitas serta kondusifitas kampus dari kegiatan politik praktis dan kampanye.
Faris (Manajemen/16) sebagai koordinator lapangan aksi yang diwawancarai setelah aksi mengatakan bahwa pihaknya mengetahui hal ini dari salah satu mahasiswa baru (maba), dan telah diklarifikasi dari kelas A hingga E yang diajar oleh dosen tersebut di mata kuliah Pengantar Ilmu Komunikasi (PIK). “Setelah mendapat laporan kemarin siang, dengan mengundang Ormawa dan beberapa UKM, dilakukan kajian dan disepakati aksi ini,” ujar Faris. Menurutnya hal ini harus direspon dengan cepat, “Yang namanya kampus harus tetap netral dalam situasi apapun jangan berpihak pada manapun,” pungkasnya.
Ia mengaku bahwa telah memiliki bukti foto, rekaman saat kelas, hingga foto yang diunggah di media sosial. Selain itu, juga terdapat saksi-saksi yang mengetahui bahwa dosen tersebut tengah mempertanyakan asal daerah dan memperkenalkan calon anggota legislatif (Caleg) dan daerah pemilihannya. Pihaknya juga mengakui bahwa tidak ada mediasi terlebih dulu dengan lembaga atau pihak terkait hingga terjadinya aksi ini, “Ada perwakilan dari aksi yang menemui dosen tersebut siang tadi (saat terjadinya aksi, red),” ujarnya. Ia menyampaikan bahwa aksi ini ditujukan agar menimbulkan efek jera kepada semua civitas akademika.
Aksi yang sempat menuai perhatian hingga pembakaran keranda ini akhirnya ditemui oleh rektor. Menurut Faris, rektor mengapresiasi hal ini agar kampus dapat benar-benar bersih dari perpolitikan. Meski rektor tidak mau menandatangani tuntutan massa karena masalah tersebut bukan merupakan ranah wewenangnya, akhirnya Wakil Rektor II, Fauzi menandatangani dengan mencoret kata “pemecatan”. “Yang point dipecat dihapus. Karena memang sanksi ada tingkatan sesuai dengan kesalahannya pula,” ujarnya.
Lukman, Dekan FISIP pun menanggapi. Ia menyatakan bahwa Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi sudah mengeluarkan surat edaran kepada satuan kerja untuk menghimbau para dosen dan tenaga kependidikan yang ada harus bersifat netral sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, utamanya berkaitan dengan peraturan tentang kepegawaian, dimana ASN harus netral.
Meski demikian, Lukman mengatakan telah terjadi pertemuan terkait hal ini. Dosen yang bersangkutan telah mengakui kekhilafan dan menyampaikan permohonan maaf. Meski ia mengajar di lima kelas, namun pada saat itu ia hanya menyampaikan maaf kepada mahasiswa kelas tempat terjadinya peristiwa ini. Ia menyampaikan bahwa kebenaran ini harus dikonfirmasi oleh kedua belah pihak. “Dosen harusnya netral meskipun ia sebenarnya mempunyai hak pilih. Ketidakberpihakkan harus ditunjukkan dengan nyata,” ungkapnya. Ia berharap agar hal ini tidak terulang kembali. Dosen harus menaati peraturan yang ada. Ia juga mengapresiasi sikap Ormawa yang tidak mengikuti aksi. Karena pihaknya berkeinginan agar segala masalah yang terjadi di FISIP dapat diselesaikan dengan musyawarah.
Dyva sebagai dosen yang terkait dalam masalah ini menyesalkan aksi yang telah terjadi. Menurutnya hal ini bisa disampaikan melalui Ormawa tidak langsung melalui aliansi. Ia mengaku telah mengisi materi PIK di lima kelas selama dua kali pertemuan.
Ia menyampaikan kronologis kesalahannya adalah ketika menggunakan gambar terkait sebagai tampilan layar desktop laptop sehingga hal ini membuat mahasiswa memiliki banyak presepsi. Gambar terkait adalah caleg di suatu kabupaten disertai logo salah satu partai politik (Parpol) pengusungnya. Caleg tersebut adalah teman dosen ini. Sebagai teman dan wujud rasa bangga ia mengaku bahwa gambar tersebut disimpan dan digunakan sebagai tampilan desktop. “Itu kekhilafan saya karena tertampil di proyektor,” terangnya. Pihaknya menekankan bahwa ia tidak memiliki niatan untuk berkampanye politik dan tidak menyampaikan ajakan-ajakan terkait politik. Ia juga menyampaikan karena kesibukkannya dengan persiapan workshop dan lainnya ia lupa untuk mengganti tampilan tersebut.
Sekitar pukul 12.00 di hari terjadinya aksi, Dyva mengaku tengah melakukan klarifikasi dan menyampaikan permohonan maaf kepada pimpinan yaitu dekan dan koordinator program studi, Ormawa FISIP dan mahasiswa Ilkom semester 1. Ia mengatakan bahwa mahasiswa telah menerima maafnya. Selain itu dia juga akan meminta maaf kepada mahasiswa di kelas lainnya saat mengisi materi selanjutnya.
Tanggapan beragam datang dari mahasiswa, “Bagus aksi ini saya mendukung, mengingatkan lembaga tentang institusi tidak boleh dimasuki oleh politik,” ujar Maudi (Manajemen/16). Namun Reyhana (Ilkom/17) berharap jika memang hal ini terbukti, seharusnya dicari jalan tengah terlebih dulu daripada langsung aksi. “Kalo mau protes di fakultas kan ada badan yang menaunginya, kita punya hak suara tapi cara menyampaikan hak suara itu ada aturannya,”ujar Yusril (Adbis/17). (fpn/tan)