Wabah Difteri Mulai Mengkhawatirkan

Jawa Timur Sumbang Kasus Terbesar, Dinas Kesehatan Selenggarakan ORI Difteri di UPN “Veteran” Jawa Timur

Pelaksanaan Outbreak Response Imunization (ORI) Difteri oleh Dinas Kesehatan Kota Sutrabaya

Dalam rangka pencegahan dan penanggulangan penyakit difteri yang semakin marak di Indonesia, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memerintahkan Dinas Kesehatan (Dinkes) untuk  melakukan Outbreak Response Imunization (ORI) Difteri. Tidak hanya ditujukan untuk bayi dan balita, namun juga anak dibawah usia 19 tahun. Atas dasar itulah Dinkes Kota Surabaya bekerja sama dengan berbagai universitas di Surabaya menyelenggarakan ORI difteri, termasuk juga UPN “Veteran” Jawa Timur (19-27/2).

ORI adalah suatu kegiatan imunisasi secara massal sebagai upaya memutuskan transmisi penularan penyakit difteri pada anak usia 1 tahun sampai dengan 19 tahun yang tinggal di daerah Kejadian Luar Biasa (KLB) tanpa mempertimbangkan status imunisasi sebelumnya. Penyakit difteri sendiri disebabkan infeksi bakteri Corynebacterium Diptheriae yang dapat menyebabkan komplikasi serius, seperti sumbatan jalur nafas serta peradangan pada otot jantung bahkan kematian.

Jawa Timur diketahui merupakan penyumbang kasus difteri terbesar sejak pertengahan tahun 2017. Awalnya Surabaya bukan daerah yang diwajibkan melakukan ORI, namun pada akhir tahun 2017 ditemukan kasus positif difteri sehingga dinyatakan daerah KLB dan wajib melaksanakan ORI. Diketahui tahun lalu tercatat 29 kasus difteri dengan satu positif, sedangkan Februari ini terdapat 22 kasus dengan dua positif, sehingga dirasa ada peningkatan dan juga resiko penularan yang besar.

Pelaksanaan ORI di UPNVJT dibagi perfakultas setiap harinya selama seminggu. Namun dalam pelaksanaannya terdapat beberapa kendala, seperti adanya mahasiswa yang terdaftar mengikuti ORI tetapi tidak mengikuti suntik atau hanya sekedar absen. “Kebanyakan mahasiswa yang tidak ikut ORI karena alasan yang pertama mereka sudah pernah ikut ORI vaksin difteri, yang kedua ketidaktahuan tentang vaksin dan yang ketiga tidak mengetahui bahaya dari difteri yang menular,” ujar Didik Utomo, Wakil Dekan (Wadek) III Fakultas Pertanian (FP).

Dalam pelaksanaannya juga terdapat mahasiswa yang tidak terdaftar tetapi mengikuti ORI, hal ini dikarenakan kuota yang masih tersisa banyak karena mahasiswa yang tercantum namanya tidak hadir. Kurangnya kesadaran dari mahasiswa yang terdaftar untuk mengikuti imunisasi ini membuat jarum suntik dan vaksin masih tersisa banyak sehingga daripada terbuang percuma maka  dimanfaatkan untuk mahasiswa yang tidak terdaftar namun masih berusia kurang dari 20 tahun. Salah satunya Nabila (EP/16), ia mengatakan bahwa ORI sangat penting mengingat semakin maraknya penularan difteri dan semakin meningkat jumlah kasus difteri di Indonesia.

Wadek III Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Suwaidi juga menyayangkan hal ini. “Diadakan ORI agar mahasiswa mendapatkan kekebalan tubuh terhadap penyakit difteri. Sangat disayangkan banyak mahasiswa tidak mengikuti ORI, padahal sangat penting bagi kesehatan para mahasiswa dan juga layanan imunisasi kali ini tidak dipunggut biaya,” ujar

Isa Ansori (Agribisnis/17) mengatakan tidak mengikuti imunisasi karena merasa curiga dan waspada terhadap vaksin yang digunakan dalam ORI adalah vaksin palsu dan tidak resmi, dikarenakan sedang maraknya isu vaksin palsu yang beredar di kalangan masyarakat. Selain itu kurang adanya himbauan tentang manfaat imunisasi serta kandungan dalam vaksin membuatnya enggan melakukannya.

 “Program ORI sendiri dilaksanakan dalam tiga  putaran, dengan interval 0-1-6 bulan yakni pada Februari,  Juli dan November agar tubuh kebal dari bakteri difteri sampai sepuluh tahun kedepan,” ungkap Ponconugroho, Dokter Dinas Kesehatan. (Mhr)

Post Author: pers-upn

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *