Penulis: Moh. Faiqul Wafa, Rifals Aflaha Makasabat
SUMBER : https://x.com/barengwarga
Pemerintah akan menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% yang akan diresmikan di tahun 2025 mendatang. Langkah yang diambil oleh pemerintah ini tentunya menimbulkan kontroversi dari berbagai kalangan, seperti para pakar ekonomi yang mengkhawatirkan dampak kenaikan PPN di tengah daya beli masyarakat yang turun. Para pengamat pajak juga menilai bahwa masyarakat tidak lagi “percaya” dengan pemerintah mengenai pengelolaan uang pajak. Para netizen di berbagai media sosial pun turut memberikan komentar kontra terhadap kenaikan nilai PPN ini.
Sebenarnya Apa Urgensi Pemerintah Menaikan PPN?
Dikutip dari kompas.com alasan naiknya PPN adalah untuk mendongkrak pendapatan negara, mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri, dan menutup defisit anggaran. Namun, alasan ini lebih menyerupai pembenaran singkat daripada solusi yang mempertimbangkan kondisi nyata masyarakat. Mengingat dalam 5 tahun terakhir, Indonesia sedang mengalami penurunan daya beli masyarakat. Per 2024 daya beli masyarakat Indonesia hanya di angka 1,68 miliar tidak berbeda jauh dari 2019 yang berada di angka 1,44 miliar, meskipun mengalami kenaikan nyatanya di tahun 2024 ini pengeluaran terbesar masyarakat ada di sektor pinjol, judi online dan e-commerce.
Solusi Instan di Waktu Rentan?
Kebijakan untuk menaikkan PPN sejatinya merupakan kebijakan instan yang dilakukan oleh pemerintah guna memperbaiki “kebobrokan” pengelolaan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir. Program-program ambisius pemerintah seperti Pembangunan IKN, pembangunan sirkuit mandalika, serta kereta cepat Jakarta-Bandung, harus dibebankan kepada rakyat-rakyat yang bahkan tidak seluruhnya merasakan manfaatnya.
Dalam hal ini, salah satu kalangan yang paling terdampak adalah kalangan menengah, yang semakin hari semakin terjajah. Hal ini karena mereka tidak cukup miskin untuk mendapatkan bantuan dan tidak cukup kaya untuk mampu menerima kenaikan nilai PPN. Mau tidak mau mereka harus menurunkan daya beli mereka agar keuangan keluarga tetap bertahan. Jika fenomena ini terus berjalan tidak heran apabila kedepannya akan banyak ditemui kasus orang-orang terlilit pinjaman online atau bahkan terjadinya deflasi yang parah.
Apabila kalangan menengah hancur, maka kalangan bawah akan semakin terkubur. Masyarakat bawah yang sedari awal sudah kesusahan membeli barang-barang yang semakin mahal harus dihadapkan dengan nilai PPN yang naik. Belum lagi adanya fakta bahwa masih banyak bantuan dari pemerintah yang belum tepat sasaran. Masih banyak orang-orang miskin yang belum tersentuh bantuan dari pemerintah yang nantinya akan terdampak kebijakan ini juga. Bagi pejabat pemerintah nilai 12% mungkin hanya uang receh namun bagi masyarakat bawah uang tersebut merupakan keringat kerja keras dari pagi hingga malam.
Jalan Pintas yang Tidak Bijak
Kenaikan PPN adalah bentuk kebijakan jalan pintas. Pemerintah menghindari langkah-langkah sulit seperti memperluas basis pajak, mengurangi kebocoran anggaran, atau memberlakukan pajak yang lebih progresif untuk kelompok atas. Sebaliknya, rakyat kecil yang sudah berjuang bertahan hidup justru harus memikul beban tambahan.
Dalam hal ini, kebijakan kenaikan PPN hanya menunjukkan bahwa pemerintah gagal memprioritaskan kepentingan rakyat. Sebagai pemimpin yang dipilih untuk mencari solusi, pemerintah seharusnya mengambil langkah yang lebih bijak, bukan sekadar mengambil jalan termudah dengan dampak paling berat pada rakyat. Oleh karena itu, pemerintah harus mengkaji ulang kebijakan ini dengan matang, mengingat kebijakan ini juga seperti bom waktu yang sewaktu-waktu dapat meledak.
Meningkatkan Pendapatan dengan Beban Rakyat
Pemerintah berdalih bahwa kenaikan PPN akan menambah kas negara yang sangat dibutuhkan untuk pembangunan. Namun, alih-alih mencari cara yang inovatif, langkah ini langsung membebani masyarakat melalui kenaikan harga barang dan jasa.
Apakah pemerintah lupa bahwa rakyat kecil adalah kontributor terbesar konsumsi domestik? Saat daya beli turun, mereka yang pertama kali merasakan dampaknya adalah masyarakat miskin. Apakah pemerintah sudah memikirkan dampak ini, atau hanya berfokus pada bagaimana mendapatkan uang secepat mungkin tanpa memikirkan konsekuensinya?
Dampak Terhadap Masyarakat
Bagi konsumen terutama rakyat kecil, kenaikan harga barang dan jasa memicu tantangan besar dalam memenuhi kebutuhan dasar. Peningkatan harga tersebut seringkali disebabkan oleh inflasi, kenaikan biaya produksi, atau kebijakan pemerintah seperti tarif energi yang lebih tinggi. Hal ini berujung pada penurunan daya beli, khususnya bagi kelompok berpenghasilan rendah. Ketika pendapatan masyarakat tidak sebanding dengan kenaikan harga, pola konsumsi mereka berubah, berfokus pada kebutuhan primer dan mengurangi belanja lainnya, yang pada akhirnya memperlambat roda ekonomi.
Dampak ini turut dirasakan oleh pengusaha, terutama pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), yang menjadi tulang punggung perekonomian di Indonesia. Ketika biaya produksi meningkat, UMKM sering kali menghadapi dilema: menaikkan harga produk dengan risiko kehilangan pelanggan, atau menurunkan margin keuntungan yang sudah tipis. Dalam situasi ini, banyak UMKM terpaksa mengurangi kualitas produk, jumlah tenaga kerja, atau bahkan menghentikan operasional. Selain itu, penurunan daya beli konsumen mengakibatkan menurunnya permintaan barang dan jasa, yang semakin menekan sektor usaha kecil. Hal ini menciptakan efek domino terhadap tingkat produksi dan stabilitas pasar.
Di sisi lain, kenaikan harga barang juga memperbesar jurang ketimpangan sosial. Kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, yang sudah rentan, menghadapi tekanan ekonomi yang lebih besar dibandingkan kelompok berpenghasilan tinggi yang mampu menyerap dampak kenaikan harga tanpa signifikan mengubah gaya hidup mereka. Ketimpangan ini bukan hanya menjadi persoalan ekonomi, tetapi juga mempengaruhi stabilitas sosial, memicu keresahan publik, dan meningkatkan risiko konflik horizontal. Dalam jangka panjang, ketimpangan yang melebar akan menghambat pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
Secara keseluruhan, dampak kenaikan harga terhadap konsumen, pengusaha, dan kondisi sosial menunjukkan betapa perlunya kebijakan yang terintegrasi untuk menjaga stabilitas ekonomi. Pemerintah dan pemangku kebijakan harus proaktif dalam mengendalikan inflasi dan menyediakan subsidi yang tepat sasaran guna melindungi kelompok masyarakat rentan serta mendorong daya saing pelaku usaha kecil. Dengan pendekatan yang holistik, dampak negatif yang muncul dapat diminimalisasi, dan kesejahteraan sosial dapat lebih merata.
Mengurangi Utang dengan Mengorbankan Stabilitas Ekonomi
Mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri adalah tujuan yang patut diapresiasi. Namun, apakah menaikkan PPN adalah cara yang benar? Dengan menekan konsumsi, pemerintah secara tidak langsung bisa memukul pendapatan negara dari sektor pajak lain. Ketika aktivitas ekonomi melambat akibat daya beli yang turun, pendapatan pajak seperti Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) juga akan ikut menurun.
Jika ini terjadi, pemerintah tetap akan kembali ke hutang untuk menutup defisit anggaran yang semakin melebar. Jadi, apakah menaikkan PPN benar-benar solusi, atau sekadar menunda masalah sambil menciptakan masalah baru?
Defisit Anggaran: Apakah PPN Solusi Adil?
Dalam kondisi defisit anggaran, pemerintah harus mengatur ulang prioritasnya. Namun, yang terjadi justru kebijakan yang membebankan rakyat kecil. Apakah pemerintah sudah memeriksa pengeluaran tidak efisien dalam anggarannya? Mengapa proyek-proyek besar yang tidak mendesak tetap berjalan, sementara rakyat diminta membayar lebih melalui kenaikan pajak?
Potensi Penyalahgunaan Pendapatan Pajak
Lebih dari itu, kenaikan PPN membuka peluang penyalahgunaan dana yang lebih besar. Dengan sistem pengawasan yang masih lemah dan laporan korupsi yang terus muncul, bagaimana masyarakat bisa yakin bahwa pendapatan tambahan ini benar-benar digunakan untuk kesejahteraan rakyat? Tanpa transparansi dan akuntabilitas, kenaikan pajak ini hanya menjadi ruang baru bagi penyalahgunaan.