Ketidakjelasan Aturan Membuat Permasalahan Berkepanjangan tanpa Penyelesaian
Penyerahan Piala Rektor Kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Sumber: Dokumentasi Pribadi Persma
Piala rektor (Pilrek) merupakan kompetisi antarfakultas yang diselenggarakan di UPN “Veteran” Jawa Timur (UPNVJT) pada 10-15 Mei 2022. Kegiatan yang dibagi menjadi dua bidang, yaitu olahraga dan seni diselenggarakan sebagai media penemuan potensi mahasiswa pada bidang yang ditargetkan. Selain itu, Pilrek juga dijadikan sebagai kompetisi yang memiliki orientasi jangka panjang pada pembentukan tim UPNVJT pada bidangnya masing-masing. Seluruh fakultas yang turut andil dalam kegiatan ini akan memberikan bentuk kekuatan terbaik pada masing-masing cabang perlombaan yang ditentukan.
Akhmad Fauzi selaku Rektor UPNVJT menegaskan jika Pilrek adalah event internal yang bertujuan untuk mempersiapkan UPNVJT sebelum nantinya mengikuti kegiatan-kegiatan POR yang lain. “Kita juga mempersiapkan untuk POMNAS itu yang diadakan secara nasional di Padang pada bulan November, kalau Porsimnas ini bulan Juli dan ini tinggal beberapa bulan ya harapannya Piala Rektor ini diperoleh bibit-bibit baik olahraga, seni, maupun ilmiah,” imbuhnya.
Fauzah Fitriah (FT/19) selaku Ketua Pelaksana menjelaskan bahwa persiapan acara yang dimulai November tahun lalu bertujuan untuk menjalin silaturahmi antarmahasiswa. “Kita juga menginfokan kepada Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) siapa tahu mereka butuh atlet. Jadi kita menyampaikan ke mereka bisa screening atlet melalui Pilrek ini sendiri. Tapi untuk yang perwakilan ke Porsimnas tetap kita kembalikan lagi ke UKM,” tambah Fauzah. Sementara itu, Intan Sri Lestari (FEB/19) sebagai Menteri Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM) menjelaskan bahwa jumlah tim yang bertanding dapat menjadi tolok ukur terlaksananya acara ini. Pada pelaksanaan Pilrek ini juga dihadiri suporter dari masing-masing fakultas.
Anya Ningrum (FIK 21) sebagai salah satu peserta mengeluhkan kurang adanya dukungan dari Organisasi Mahasiswa tingkat jurusan dan fakultas asalnya menjadi hal yang disayangkan. Berbicara lebih jauh tentang kendala internal, menurut Christian Ananda (FISIP/20), penjaringan yang bersifat door to door dengan hubungan relasi membuat talenta potensial belum tertampung secara optimal. Sementara itu, Fitriatus (FT/20) berpendapat bahwa kurang adanya antusias dari penonton. Sejalan dengan Fitriatus, Muhammad Ilham Muzakki (FT/20) juga mengeluhkan jadwal acara sebagai penyebab turunnya antusias penonton. “Seharusnya jadwal perlombaan dapat lebih disesuaikan lagi dengan jadwal kuliah sehingga mahasiswa tidak kesulitan untuk menonton dan mendukung peserta yang tampil, mengingat kehadiran suporter dapat membuat suasana lomba lebih meriah,” pungkasnya.
Sebagai pemenang, Al-haq Naufal Susilo Hadi (FISIP/20) yang turun pada bulu tangkis nomor ganda campuran mengaku senang dengan kemenangan ini, apalagi ini kali pertama partisipasinya. Sementara Dynda Safitri (FISIP/18) mengapresiasi keterlibatan perempuan di cabang olahraga bulutangkis tahun ini. Evaluasi dan kritik dari sudut pemenang berkutat pada regulasi yang dikeluhkan berubah-ubah. Jika Ismail Halim (FT/20) mengeluhkan tentang keseragaman jumlah pemain, Verda Veransiska (FEB/18) mengevaluasi persyaratan registrasi dan efektivitas kerja. “Keaktifan panitia saat follow up tim masih sangat kurang. Terlebih lagi, terlihat banyak panitia yang santai atau kurang menjalankan job desk, ketika terjadi perselisihan baru berkerumun,” jelas Verda. Sementara itu, Media Cato Dewa (FIK/19) menyayangkan pembatasan lomba yang boleh diikuti tiap individu berimbas pada minimnya atlet di fakultasnya. Selanjutnya, Lukman Hakim (FH/20) menyoroti adanya atlet yang bertanding di lebih dari satu jenis cabor, padahal sudah dilarang dalam regulasi. “Ternyata kemarin ada kejadian satu anak dari kalau enggak salah dari FEB ya, itu dia rangkap main di ganda campuran sama tunggal putri,” Lukman melanjutkan.
Sejalan dengan keterangan sebelumnya, beberapa keluhan dan protes dari peserta disampaikan dengan berbagai cara. Media yang dipilih mulai dari forum diskusi hingga visualisasi melalui berbagai banner berisi sarkasme bagi panitia. Kasus tim futsal putra FIK menjadi salah satu kejadian yang paling disorot oleh berbagai pihak, diskualifikasi tim dari fakultas lain di tengah kompetisi menjadi pusat permasalahan ini. Perubahan penghitungan poin secara otomatis mengubah regulasi kelolosan tim ke semifinal yang jelas merugikan kontingen FIK. Menurut tim futsal FIK, tidak adanya klarifikasi resmi dari panitia hingga solusi yang dianggap merugikan salah satu pihak memunculkan asumsi bahwa aturan dan regulasi yang tertulis baru dipahami panitia secara utuh ketika kompetisi telah bergulir. Hal ini menyebabkan tidak adanya opsi cadangan ketika terjadi hal di luar alur normal sebuah kompetisi. Sebagai penyelenggara, rasanya kurang elok jika aturan yang telah disusun justru belum dipahami keseluruhan isinya. Sungguh sebuah blunder yang berakibat fatal dari panitia penyelenggara. Terdeteksi lolosnya mahasiswa dari universitas lain untuk menyaksikan pertandingan menambah pelanggaran regulasi yang ditetapkan panitia. Padahal, sempat ada dialog jika hanya mahasiswa dari fakultas bersangkutan yang diperbolehkan masuk area kompetisi ketika kontingennya bertanding. Mungkin, regulasi hanya sebatas formalitas yang ditetapkan untuk warga intrakampus, sehingga tidak dapat mengikat dan mengatur partisipan di luar teritorial kampus.
Dari bagian putri, kendala tersaji pada perebutan juara 3 cabang olahraga futsal putri yang mempertemukan perwakilan FH melawan FIK. Pertandingan berlangsung seru, bahkan FH sempat unggul dengan margin satu gol. Di tengah berlangsungnya pertandingan, panitia menghentikan pertandingan karena ada indikasi pelanggaran regulasi dari FH berupa penggunaan atribut di luar regulasi dan jersei yang tidak seragam. Akibat pelanggaran tersebut, panitia memutuskan FH untuk walk out secara paksa. Karena belum ada kejelasan, terjadilah mediasi antara panitia, FH, dan FIK. Proses mediasi disertai penjelasan pihak FH, mulai dari screening hingga berlangsungnya pertandingan. Setelah sempat ada kesepakatan untuk pertandingan ulang dengan skor awal 0-0 dan waktu lima menit, terjadilah diskusi kembali dengan keputusan akhir FH tetap dikenai walk out.
Beberapa pertanyaan muncul berkaitan dengan keputusan yang sangat mengundang kontroversi dan tidak masuk akal. Pertama, apakah sepadan pelanggaran yang dilakukan dengan sanksi yang ditetapkan? Sepertinya, pelepasan atribut terkait akan menyelesaikan masalah dengan segera jika memang keberadaannya dirasa mengganggu dan mencederai nilai sportivitas. Kedua, jika memang panitia beranggapan hal tersebut merupakan kesalahan fatal yang tidak mampu ditoleransi dan wajib dikenai sanksi berupa kekalahan sepihak. Lantas, screening sebelum pertandingan dengan standardisasi bagaimana yang diterapkan panitia penyelenggara hingga hal ini bisa luput dengan mudah? Jika ada pengecekan, harusnya pelanggaran aturan tidak akan nyaman terjadi hingga salah satu tim berhasil mencetak gol, karena pasti terdeteksi sejak awal. Bukankah seharusnya ada komunikasi dan koordinasi yang intens antara peserta, pengadil pertandingan, dan panitia penyelenggara? Terlalu timpang jika keputusan yang diambil menggugurkan salah satu tim, mengingat berbagai pihak juga memiliki andil dalam berlangsungnya pelanggaran regulasi ini.
Pada akhirnya, penyelenggaraan Piala Rektor tahun ini dinilai kurang optimal jika dilakukan komparasi antara rentang waktu persiapan dan implementasi di lapangan. Regulasi yang abu-abu dan berubah seiring berjalannya waktu, keputusan yang tidak mempertimbangkan kedua belah pihak, hingga tidak adanya klarifikasi resmi dari panitia sebagai wujud penyelesaian permasalahan. Pada penyelenggaraan berikutnya, dapat dilakukan langkah kolaboratif dengan bagian Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) tiap cabang olahraga yang secara kompetensi lebih memahami regulasi dan kondisi yang berpotensi terjadi saat kompetisi. (muj/haf/ran)